Mohammad Sukri
Santri PP.
Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan
Alumni SMA
Al-Miftah Angkatan 2007
Pendidikan
dalam konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi
lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya otonomi
pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake
holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk lebih memacu
pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan adat dan
budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan
dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan tetapi,
akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya lokal terpatahkan dengan beberapa fakta dan
kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan
islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus dipegang teguh oleh
kita bersama. Banyak masyarakat kita yang masih belum paham terhadap adat dan
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Padahal adat dan budaya tersebut
menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Mereka asing didaerah
mereka sendiri, bahkan yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli
daerah sendiri, seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi
barang asing ditelinga para siswa mereka menganggap bahasa Madura kurang
penting, dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak
yang lainnya. Anggaapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya para siswa
untuk belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya
Madura hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan
dan porsi jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan diatas
kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti
balai Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
terhadap Pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di
perguruan tinggi. Akhirnya, pengajaran Bahasa Madura di sekolah-sekolah itu
dilakukan oleh para praktisi. Praktisi itu bisa orang Madura, bisa orang Jawa.
Orang Jawa, yang bisa berbahasa Madura sedikit-sedikit, mengajar Bahasa Madura
karena tidak ada pengajar lain. Akhirnya, bahasa daerah hanya hafalan saja.
Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih bergengsi berbahasa
Indonesia daripada berbahasa daerah.
Akhirnya, gerakan cinta Madura menjadi
salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat, budaya dan bahasa
Madura yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas. Mulai
dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara luas.
Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain. Wallhu a’lam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar