Kamis, 25 Juli 2013

Maduraku Sayang Maduraku Malang




Mohammad Sukri
Santri PP. Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan
Alumni SMA Al-Miftah Angkatan 2007

Pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya otonomi pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk lebih memacu pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan adat dan budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya lokal  terpatahkan dengan beberapa fakta dan kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus dipegang teguh oleh kita bersama. Banyak masyarakat kita yang masih belum paham terhadap adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Padahal adat dan budaya tersebut menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Mereka asing didaerah mereka sendiri, bahkan yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli daerah sendiri, seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi barang asing ditelinga para siswa mereka menganggap bahasa Madura kurang penting, dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak yang lainnya. Anggaapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya para siswa untuk belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya Madura hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan dan porsi jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan diatas kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti balai Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap Pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi. Akhirnya, pengajaran Bahasa Madura di sekolah-sekolah itu dilakukan oleh para praktisi. Praktisi itu bisa orang Madura, bisa orang Jawa. Orang Jawa, yang bisa berbahasa Madura sedikit-sedikit, mengajar Bahasa Madura karena tidak ada pengajar lain. Akhirnya, bahasa daerah hanya hafalan saja. Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih bergengsi berbahasa Indonesia daripada berbahasa daerah.
Akhirnya, gerakan cinta Madura menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat, budaya dan bahasa Madura yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara luas. Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain. Wallhu a’lam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar