Oleh :
Mohammad Sukri
Pada saat ini rasa bangga dan kepedulian
melestarikan budaya kurang tertanam di generasi muda Indonesia. Minat mereka
untuk mempelajarinya sudah sangat kurang. Padahal seharusnya generasi muda
tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam melestarikan kebudayaan Indonesia
agar kebudayaan tersebut akan tetap ada sampai kapan pun. Salah satu faktor
penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai kekayaan budaya yang dimiliki
oleh Indonesia.
Generasi muda zaman sekarang ini lebih tertarik
untuk mengenal dan mempelajari budaya-budaya asing yang kini telah masuk ke
Indonesia. Maraknya aksi-aksi moral yang tidak baik memang sudah sangat
memprihatinkan, apalagi di tambah dengan kurangnya nilai-nilai budaya lokal
yang semakin memperburuk keadaan. Meskipun demikian generasi muda Indonesia
tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia memang
membawa dampak yang cukup besar terhadap generasi muda saat ini.
Dari semua budaya asing yang masuk, tidak
semuanya membawa pengaruh positif bagi generasi muda maka dari itu para
generasi muda harus dapat memilah-milah sendiri mana yang harus ditinggalkan
dan mana yang dapat diterima ke dalam nilai-nilai moral budaya lokal untuk di
kembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam menanggapi hal tersebut
generasi muda harus berusaha agar jati diri mereka sebagai generasi muda
penerus bangsa tidak rusak.
Banyaknya tindak kejahatan sekarang ini akibat
dari generasi muda yang tidak bisa membedakan baik buruknya budaya asing yang
masuk. Tindak kriminal, narkoba, perkosaan, pergaulan bebas dapat terjadi
karena generasi muda meniru kebudayaan asing yang menurut mereka tidak aneh
lagi untuk diikuti. Oleh sebab itu seharusnya para generasi muda tidak bisa
begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak
hancur dan generasi muda dapat membangun Indonesia menjadi negara maju tanpa
terpengaruh oleh budaya asing.
Pengaruh globalisasi juga sangat besar terhadap
generasi muda. Pengaruh tersebut menyebabkan banyak anak muda yang kehilangan
jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala
yang telah muncul dalam kehidupan sehari-hari contohnya, dari cara berpakaian
remaja-remaja saat ini yang cenderung mengikuti budaya asing. Mereka memakai
pakaian yang minim sehingga memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak
boleh diperlihatkan. Padahal untuk melestarikan budaya bangsa seharusnya mereka
memakai pakaian yang sopan sesuai dengan norma-norma budaya yang berlaku.
Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia
sangat diharapkan mampu memilah-milah dan mengantisipasi terhadap budaya asing
yang masuk ke Indonesia karena budaya tersebut ada yang tidak sesuai dengan
kebudayaan kita dan akan berdampak sangat buruk terhadap budaya Indonesia.
Pendidikan dalam
konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi
lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya
otonomi pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk
lebih memacu pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan
adat dan budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan
dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan
tetapi, akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya
lokal terpatahkan dengan beberapa fakta
dan kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum
dan pendidikan islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus
dipegang teguh oleh bersama. Banyak masyarakat yang masih belum paham terhadap
adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang . Padahal adat dan budaya
tersebut menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara daerah yang satu dengan daerah
yang lainnya, namun tetap dalam bingkai bhenika tunggal ika.
Peserta
didik asing didaerahnya sendiri, bahkan
yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli daerah sendiri,
seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi barang asing
ditelinga peserta didik, mereka menganggap bahasa Madura kurang penting,
dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak yang
lainnya. Anggapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya peserta didik untuk
belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya Madura
hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan dan porsi
jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan
diatas kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti
balai Pengembangan Budaya dan Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi terhadap kurang diminatinya bahasa Madura oleh peserta
didik adalah pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di perguruan
tinggi di Madura. Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih
bergengsi berbahasa bahasa bangsa orang lain daripada berbahasa daerahnya
sendiri.
Berangkat
darai berbagai permasalaha diatas, perlu adanya penyelematan budaya yang selama
ini sudah ditingggalkan oleh pelajar dan masyarakat. Penyelematan budaya ini
akan bisa terlaksanana dengan baik jika dimulai pada institusi pendidikan,
karena institusi pendidikan tempat belajar generasi muda yang masih fresh menerima
materi, praktek tentang budaya dan pengembangan kreatifitas budaya asli daerah.
Pengembangan pendidikan tidak hanya berkutak pada institusi pendidikan formal
saja tetapi lebih masuk pada ranah pendidikan non formal seperti kursus,,sanggar
budaya dan lembaga pengembangan budaya lainnya.
Oleh
karena itu peran pemerintah daerah dalam hal ini walikota, bupati dan pelaku
kebijakan pendidikan harus bisa memutar otak untuk lebih serius dalam
penyelamatran budaya asli daerah adapun usaha yang dapat dilakukan adalah
pertama, otoritas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam konteks Otonomi
Daerah di bidang pendidikan secara formal mengharuskan pembangunan
infrastruktur pendidikan atau mendinamisasi percepatan pengembangan sarana
pendidikan for-mal, pendidikan non-formal, pendidikan informal, pendidikan usia
dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat dengan
pembangunan infrastruktur pendidikan berbasis budaya lokal misalnya pembangunan
laboratorium budaya atau mesium budaya serta sentra budaya yang dapat
dikunjungi dan dipelajari oleh masyarakat seperti sanggar tari tradisional dan
sanggar music daerah.
Kedua,
perlu adanya penambahan jam mata pelajaran dan mamasukkan mata pelajaran budaya
pada kurikulum pendidikan fomal dan non formal. Sebagai legitimasi dan
kebijakan langsung dari pemerintah daerah dan stake holder pendidikan.
Ketiga,
membuat kebijakan dengan mengharuskan calon peserta didik yang berdomisili di
daerah tersebut mengusai bahasa daerah, dan dijadikan sebagai bahan tes masuk
sekolah pada tiap jenjang pendidikan. Keempat, megadakan festifal budaya daerah
dalam rangka memberikan pendidikan dan pengetahuan secara tidak langsung pada
masyarakat dan generasi muda.
Akhirnya, gerakan cinta
budaya menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat,
budaya dan bahasa daerah yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas.
Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara
luas. Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain.
Gerakan cinta dan
memperlajari budaya asli pada akhirnya dapat berpengaruh pada pengembalian karakter
atau adat budaya yang telah lama diajarkan oleh nenek moyang kita, seperti
nilai kesopanan gotong royong dan silaturrahmi yang selama ini telah hilang dimasyarakat.
Pengembalian nilai – nilai budaya atau karakter masyarakat ini dapat
dikembalikan dengan mempelajari budaya dan mengetahui bahasa asli daerah
sendiri.
Wallhu
a’lam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar