Jumat, 11 Oktober 2013

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH



Oleh :
Mohammad Sukri

Pada saat ini rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya kurang tertanam di generasi muda Indonesia. Minat mereka untuk mempelajarinya sudah sangat kurang. Padahal seharusnya generasi muda tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam melestarikan kebudayaan Indonesia agar kebudayaan tersebut akan tetap ada sampai kapan pun. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Generasi muda zaman sekarang ini lebih tertarik untuk mengenal dan mempelajari budaya-budaya asing yang kini telah masuk ke Indonesia. Maraknya aksi-aksi moral yang tidak baik memang sudah sangat memprihatinkan, apalagi di tambah dengan kurangnya nilai-nilai budaya lokal yang semakin memperburuk keadaan. Meskipun demikian generasi muda Indonesia tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia memang membawa dampak yang cukup besar terhadap generasi muda saat ini.
Dari semua budaya asing yang masuk, tidak semuanya membawa pengaruh positif bagi generasi muda maka dari itu para generasi muda harus dapat memilah-milah sendiri mana yang harus ditinggalkan dan mana yang dapat diterima ke dalam nilai-nilai moral budaya lokal untuk di kembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam menanggapi hal tersebut generasi  muda harus berusaha agar jati diri mereka sebagai generasi muda penerus bangsa tidak rusak.
Banyaknya tindak kejahatan sekarang ini akibat dari generasi muda yang tidak bisa membedakan baik buruknya budaya asing yang masuk. Tindak kriminal, narkoba, perkosaan, pergaulan bebas dapat terjadi karena generasi muda meniru kebudayaan asing yang menurut mereka tidak aneh lagi untuk diikuti. Oleh sebab itu seharusnya para generasi muda tidak bisa begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak hancur dan generasi muda dapat membangun Indonesia menjadi negara maju tanpa terpengaruh oleh budaya asing.
Pengaruh globalisasi juga sangat besar terhadap generasi muda. Pengaruh tersebut menyebabkan banyak anak muda yang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang telah muncul dalam kehidupan sehari-hari contohnya, dari cara berpakaian remaja-remaja saat ini yang cenderung mengikuti budaya asing. Mereka memakai pakaian yang minim sehingga memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan. Padahal untuk melestarikan budaya bangsa seharusnya mereka memakai pakaian yang sopan sesuai dengan norma-norma budaya yang berlaku.
Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia sangat diharapkan mampu memilah-milah dan mengantisipasi terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia karena budaya tersebut ada yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita dan akan berdampak sangat buruk terhadap budaya Indonesia. 
Pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya otonomi pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk lebih memacu pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan adat dan budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya lokal  terpatahkan dengan beberapa fakta dan kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus dipegang teguh oleh bersama. Banyak masyarakat yang masih belum paham terhadap adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang . Padahal adat dan budaya tersebut menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, namun tetap dalam bingkai bhenika tunggal ika.
Peserta didik asing didaerahnya  sendiri, bahkan yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli daerah sendiri, seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi barang asing ditelinga peserta didik, mereka menganggap bahasa Madura kurang penting, dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak yang lainnya. Anggapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya peserta didik untuk belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya Madura hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan dan porsi jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan diatas kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti balai Pengembangan Budaya dan Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap kurang diminatinya bahasa Madura oleh peserta didik adalah pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi di Madura. Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih bergengsi berbahasa bahasa bangsa orang lain daripada berbahasa daerahnya sendiri.
Berangkat darai berbagai permasalaha diatas, perlu adanya penyelematan budaya yang selama ini sudah ditingggalkan oleh pelajar dan masyarakat. Penyelematan budaya ini akan bisa terlaksanana dengan baik jika dimulai pada institusi pendidikan, karena institusi pendidikan tempat belajar generasi muda yang masih fresh menerima materi, praktek tentang budaya dan pengembangan kreatifitas budaya asli daerah. Pengembangan pendidikan tidak hanya berkutak pada institusi pendidikan formal saja tetapi lebih masuk pada ranah pendidikan non formal seperti kursus,,sanggar budaya dan lembaga pengembangan budaya lainnya.
Oleh karena itu peran pemerintah daerah dalam hal ini walikota, bupati dan pelaku kebijakan pendidikan harus bisa memutar otak untuk lebih serius dalam penyelamatran budaya asli daerah adapun usaha yang dapat dilakukan adalah pertama, otoritas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam konteks Otonomi Daerah di bidang pendidikan secara formal mengharuskan pembangunan infrastruktur pendidikan atau mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan for-mal, pendidikan non-formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat dengan pembangunan infrastruktur pendidikan berbasis budaya lokal misalnya pembangunan laboratorium budaya atau mesium budaya serta sentra budaya yang dapat dikunjungi dan dipelajari oleh masyarakat seperti sanggar tari tradisional dan sanggar music daerah.
Kedua, perlu adanya penambahan jam mata pelajaran dan mamasukkan mata pelajaran budaya pada kurikulum pendidikan fomal dan non formal. Sebagai legitimasi dan kebijakan langsung dari pemerintah daerah dan stake holder pendidikan.
Ketiga, membuat kebijakan dengan mengharuskan calon peserta didik yang berdomisili di daerah tersebut mengusai bahasa daerah, dan dijadikan sebagai bahan tes masuk sekolah pada tiap jenjang pendidikan. Keempat, megadakan festifal budaya daerah dalam rangka memberikan pendidikan dan pengetahuan secara tidak langsung pada masyarakat dan generasi muda.
Akhirnya, gerakan cinta budaya menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat, budaya dan bahasa daerah yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara luas. Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain.
Gerakan cinta dan memperlajari budaya asli pada akhirnya dapat berpengaruh pada pengembalian karakter atau adat budaya yang telah lama diajarkan oleh nenek moyang kita, seperti nilai kesopanan gotong royong dan silaturrahmi yang selama ini telah hilang dimasyarakat. Pengembalian nilai – nilai budaya atau karakter masyarakat ini dapat dikembalikan dengan mempelajari budaya dan mengetahui bahasa asli daerah sendiri.
Wallhu a’lam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar