PERAN DAN HUBUNGAN TOKOH
AGAMA DENGAN PEMERINTAH
(Studi Analisis Upaya Pemeliharaan Kerukunan
Antar Umat Beragama)
KARYA
TULIS ILMIAH
Ditulis Untuk
Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
PKC PMII Jawa Timur
Oleh :
MOHAMMAD SUKRI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI)
MIFTAHUL ULUM PANYEPEN
PAMEKASAN
TAHUN 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Masalah
Selain faktor intelijen yang lemah dalam mengantisipasi dini
penyerangan atas Syiah Sampang, ternyata sejak dua tahun terakhir Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sampang masih terkatung-katung alias
'mati suri'.
Ini karena Bupati Sampang Noer Tjahja tidak segera mengukuhkan
kepengurusan FKUB yang baru hingga saat ini. Untuk membantu pemerintah meredam
kasus kekerasan dengan sentimen agama, Ketua FKUB Jatim Endro Siswantoro
mendesak Bupati Sampang segera membentuk kepengurusan yang baru.
FKUB ini bertugas untuk menjaga kerukunan umat beragama, baik
antarumat beragama maupun antarumat dalam satu agama. Di Indonesia, sepertinya
Sampang lah yang satu-satunya tidak mempunyai FKUB, tegas Ketua FKUB Jatim
Endro Siswantoro, Selasa (28/8/2012).
Pihaknya menyesalkan sikap Pemkab Sampang yang tidak segera
mengaktifkan kembali FKUB. Padahal, FKUB sebenarnya sangat bermanfaat untuk
menjaga kerukunan umat beragama di daerah. Ternyata, Kabupaten Sampang
merupakan satu-satunya daerah yang tidak memperhatikan keberadaan kelembagaan
yang diisi berbagai perwakilan pemeluk agama itu.
Tak heran jika permasalahan agama ini kembali terjadi untuk kedua
kalinya di daerah tersebut, sebab penanganan secara keagamaan juga tidak bisa
ditangani secara maksimal. Padahal, timbulnya konflik agama bisa dipicu dari
berbagai faktor.
Endro menjelaskan, FKUB Jatim tetap akan mendorong agar Gubernur
Jatim Soekarwo segera membuat kebijakan yang berkaitan dengan penanganan
masalah tersebut, salah satunya dengan diaktifkannya kelembagaan FKUB ini.
Sebelumnya, beberapa kali Bupati Sampang, Noer Tjahja
mengungkapkan dan menegaskan kalau dirinya menolak imbauan pemerintah membentuk
forum kerukunan umat beragama di wilayah tersebut.
Bahkan, saat itu dia mengaku, pemkab memang sudah beberapa kali
menerima surat dari menteri supaya mengukuhkan forum tersebut. Hal ini juga
diakui Endro yang juga telah melayangkan surat ke Pemkab Sampang untuk
mengukuhkan FKUB.
Sekedar diketahui, terbentuknya FKUB di Kabupaten Sampang pada
1997 silam. Selanjutnya, masa bakti habis pada 2010. Setelah itu, status
kepengurusan FKUB sampai saat ini terkatung-katung. Sebab, bupati tidak segera
mengukuhkan kepengurusan yang baru.
"Kami akan merapatkan diri kembali agar ada dorongan kembali
ke Sampang agar kelembagaan ini kembali ada dan bisa mengkondusifkan daerah
tersebut," tukasnya. Endro juga kembali menyerukan, agar semua pihak yang
bertikai bisa menahan diri dan tidak terprovokasi dengan kepentingan apapun.
Sebab, saat ini masalah sekecil apapun, bisa menjadikan masalah yang besar
hingga terjadi kerusuhan.[1]
Belajar
dari kasus Sampang banyak yang menilai kasus yang terjadi di Sampang sangat
disayangkan karena merugikan masyarakat yang tidak ikut campur tentang duduk
permasalahan yang sesungguhnya. Orang luar Madura menilai masyarakat Madura
masih kental dengan aroma kekerasan, masih kental dengan budaya carok
dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Kerukunan
dan perdamaian manjadi sesuatu yang mahal dan sangat dirindukan oleh masyarakat
yang cinta akan kerukunan dan kedamaian. Masyarakat jenuh dengan situasi dan
kondisi yang mengganggu aktifitas dan kenyamanan hidup mereka. Sehingga
kerukunan dan hidup saling berdampingan antar agama, suku, etnis dan kelompok
budaya yang berbeda menjadi agenda penting untuk mengembalikan nilai adat
ketimuran yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Seperti falsafah gotong
royong dan menghargai budaya sesama.
Oleh
karena itu persersoalan kerukunan umat beragama senantiasa perlu terus-menerus
disosialisasikan. Karena, tak dapat dipungkiri banyak konflik antarumat
beragama dan intern umat beragama di Indonesia pada kenyataannya masih terus
berlangsung hingga hari ini. Kerukunan umat beragama sangat kita perlukan, agar
kita semua bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di bumi
Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada
kelompok-kelompok lain.
Dengan
begitu, agenda-agenda kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama
antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah
korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat
segera dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Agenda-agenda
tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan
umat beragama belum terselesaikan. Fakta menjelaskan meskipun setiap agama
mengajarkan tentang kedamaian dan keselarasan hidup, realitas menunjukkan
pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi
konflik. Konflik jenis ini dapat mempunyai dampak yang amat mendalam dan
cenderung meluas.[2]
Dalam hal
ini, pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau
yang dikenal dengan istilah konflik antaragama tetapi sering terjadi konflik
antara umat dalam satu agama atau konflik intra agama. Munculnya berbagai kasus
terkait dengan persoalan keagamaan, yang dipicu oleh beberapa hal antara lain:
Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol, maupun
istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak
bertanggung jawab.
Kedua,
fanatisme agama yang sempit. Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang
mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang
memiliki cara atau ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Ketiga adalah
adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat
terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan
yang disengaja).
Secara
historis, politis, dan sosiologis, Indonesia punya modal sangat kuat dalam
menangani atau meredam konflik tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah
pembentukan dan perjuangan Kemerdekaan bangsa ini. Bangsa Indonesia yang
beratus-ratus tahun dijajah Belanda, serta Jepang, berhasil merdeka berkat
kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pendiri bangsa yang berbeda agama.
Penghapusan
Piagam Jakarta dan kata-kata Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para
pemeluknya, merupakan bentuk kompromi politik dari Bapak Bangsa untuk menjamin
agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi
terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Bahkan, Pancasila dan slogan
Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi visi, misi, dan panduan yang memberikan
pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa
lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.[3]
Dialog
intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan
kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati
dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun
dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara
kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog
intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan
pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim,
mubaligh, dai, dan kiai maupun pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan
penganut dan pemimpin agama Kristen Katolik, Hindu, Buddha maupun agama Kong Hu
Cu.
Dalam
penyosialisasian, pendiseminasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan umat
beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama menduduki posisi
yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen yang diberi tugas
mengatur dan menangani persoalan serta urusan keagamaan bagi seluruh rakyat
Indonesia, tentunya Depag harus terus membuka mata dan memperhatikan
masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar.
Problem itu, tentunya sangat berkaitan dengan relasi umat agama di Indonesia
yang terdiri atas multiagama, multiorganisasi, multiperspektif.
Sudah
banyak kebijakan pemerintah mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama;
baik mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah
ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antaragama dalam bidang
pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat
beragama.
Pemerintah
sejak 1970-an sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Menteri Agama Mukti Ali
memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang
diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu
penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap
menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka,
berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia.[4]
Upaya ini
dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan
pentingnya trilogi kerukunan umat beragama. Pertama, kerukunan antarumat
beragama, yaitu kerukunan dan saling menghormati di antara pemeluk berbagai
agama. Kedua, kerukunan intern umat beragama, yaitu kerukunan di antara
golongan-golongan dalam satu agama tertentu.
Ketiga,
kerukunan di antara semua kelompok keagamaan dan pemerintah.
Yang juga penting adalah bagaimana agar kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Yang juga penting adalah bagaimana agar kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Pemerintah
dan tokoh agama berperan penting dalam peredaman dan penyelesaian konflik
agama. Pemerintah sebagai wujud pembuat kebijakan dan yang menjalankan
kebijakan sedangkan tokoh agama menjadi salah satu garda terpenting dalam
penyadaran dan memberikan pencerahan terhadap pemeluk agamanya masing-masing.
Berangkat
dari latar belakang di atas penulis berinisiatif untuk mengkaji dan
menganalisis permasalaha dengan judul kajian, Peran Tokoh Agama dan Pemerintah
Studi Analisis Upaya Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
B.
Fokus
Masalah
Analisis ini dirancang untuk menemukan urgensitas peran
tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama. Hal ini
dipandang perlu karena selama ini upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak
masih dinilai belum menampakkan langkah-langkah yang konkrit, sehingga dapat
mengakibatkan konfrontasi yang kontraproduktif bagi kerukunan.
Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji, berikut
sejumlah pertanyaan kajian yang dicoba dijawab dalam kajian ini :
1.
Bagaimana
peran dan hubungan tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat
beragama ?
2.
Bagaimana
pola dan hubungan antara tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan
umat beragama ?
3.
Mungkinkah
dilakukan sinergi antara tokoh agama dan pemerintah dalam proses pemeliharaan
kerukunan umat beragama?, jika ya dalam bentuk apa sinergi yang dapat dilakukan
?
C.
Tujuan
Penulisan
Sesuan dengan permasalahan di atas,
maka kajian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui peran dan hubungan tokoh agama dan pemerintah
dalam membentuk kerukunan umat beragama.
2. Mengetahui pola dan hubungan antara
tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama.
3. Mengetahui kemungkinan dilakukan
sinergi antara tokoh agama dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan
umat beragama.
D.
Manfaat
Penulisan
Pembahasan ini akan menghasilkan gambaran tentang pola-pola
hubungan yang dikembangkan untuk terciptanya sinergitas yang baik antara tokoh
agama dan pemerintah dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama di
Indonesia. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat memberikan konstribusi positif
bagi perkembangan demokrasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan
nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal Sekilas Indonesia
Indonesia
atau nama resminya Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
adalah salah satu negara di dunia yang wilayahnya dilintasi khatulistiwa,
sehingga memiliki iklim tropis yang hanya mengenal dua musim yaitu musim hujan
dan musim kemarau. Keadaan ini berpengaruh terhadap keragaman flora dan fauna,
serta kekayaan alam. Keanekaragaman hayatinya adalah yang terbesar kedua di
dunia. Wilayahnya terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan
dua Samudera yaitu Pasifik dan Hindia pada 6Â LU dan 11Â LS, serta
95Â BT dan 141Â BT.[5]
Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, terbentang jauh
memanjang dari Sabang sampai Merauke tak kurang dari 5000 km, sehingga
pembagian waktunya dibagi atas tiga wilayah waktu yaitu Waktu Indonesia bagian
Barat (WIB), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia bagian
Timur (WIT). [6]
Sumber
daya alam atau kekayaan alam tersebar di daratan maupun perairan seperti laut,
sungai dan danau. Populasinya lebih dari 237 juta jiwa (menurut sensus tahun
2010) dengan kepadatan penduduk sebesar 124/km persegi. Terdiri dari tak kurang
1.128 suku bangsa dengan aneka tradisi, adat, budaya dan bahasa yang masih
terpelihara hingga kini. Berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang
berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara
Islam. Dengan kondisi seperti di atas, menjadikan Indonesia sebagai negara yang
memiliki spesifikasi dan keunikan-keunikan tersendiri. Secara umum, spesifikasi atau keunikan-keunikan
itu antara lain:
1.
Indonesia luas wilayahnya menempati urutan ketujuh di
dunia.
2.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
3.
Wilayah Indonesia sedemikian strategis, terletak di
antara dua benua dan dua samudra yang terdiri dari belasan ribu pulau yang
bertebaran di sekitar garis khatulistiwa dan alamnya relatif subur dan indah.
4.
Jumlah penduduknya menempati urutan keempat di dunia
dan mayoritas beragama Islam.
Khusus mengenai
kondisi penduduk Indonesia maka keunikan-keunikannya antara lain, adalah:
1.
Penduduk Indonesia sedemikian majemuk, baik mengenai
banyaknya suku bangsa, budaya, bahasa daerah, agama/kepercayaan yang dianut dan
sebagainya.
2.
Pada dasarnya bangsa Indonesia cinta damai demi
persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak memasalahkan perbedaan-perbedaan
tersebut di atas.
B.
Indonesia Yang Plural Dan
Multikultural
Menurut
para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society) dan
masyarakat multikultural (multikultural society). Pluralisme masyarakat adalah
salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yaitu suatu konsep yang
menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya
adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan yang dapat
dipelajari tentang masyarakat manusia, termasuk kepercayaan, seni, moralitas,
hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural konsepnya ialah bahwa
di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan
bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan
pluralisme masyarakat itu.
Dengan
demikian ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu:
1.
Adanya pluralisme masyarakat.
2.
Adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama.
3.
Adanya kebanggaan terhadap pluralisme itu
4.
Indonesia sendiri bahkan sejak permulaan sejarahnya
telah bercorak majemuk.
Oleh
karena itu ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" (berbeda-beda tetapi tetap
satu) yang disepakati sebagai simbol pemersatu negara Nusantara ketika berada
di bawah kekuasaan Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan
kemajemukan Indonesia dan menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas
ke-Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat,
baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk
mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
Sekalipun
terdapat unsur-unsur yang berbeda, namun kemauan untuk mempersatukan bangsa
sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau
mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan
memahaminya sebagai realitas kehidupan, sesungguhnya dapat menjadi potensi
kesadaran etik pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Pada dasarnya
pula, hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang
bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia.
Memang
tidak bisa dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam berbagai hal tersebut
merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar
kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan itu tidaklah
terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh masing-masing individu
dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis, yang membawa pula kepada
bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh generasi
terdahulu, perintis bangsa cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan
filosofi keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka
Tunggal Ika itu.
C.
Tinjaun Tentang Kerukunan
Kata kerukunan dari kata rukun berasal dari bahasa Arab,
ruknun (rukun) jamaknya akan berarti asas atau dasar, misalnya rukun Islam,
asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti
rukun adalah sebagai berikut : Rukun (n-nomina) : (1) sesuatu yang harus
dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti : tidak sah sembahyang yang tidak
cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti : dasar, sendi : semuanya
terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun Islam : tiang
utama dalam agama Islam, rukun iman : dasar kepercayaan dalam agama Islam: Rukun
(a-ajektiva) berarti (1) baik dan damai.tidak bertentangan : kita hendaknya
hidup rukun dengan tetangga; (2) bersatu hati, bersepakat : penduduk kampung
itu rukun sekali. Merukunkan berarti : (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu
hati. Kerukunan (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan :
kerukunan hidup bersama.[7]
Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar
tolong-menolong dan persahabatan; rukun tani : perkumpulan kaum tani; rukun
tetangga; perkumpulan antara orang-orang yang bertetangga; rukun warga atau
rukun kampung perkumpulan antara kampong-kampung yang berdekatan (bertetangga,
dalam suatu kelurahan atau desa).
Jadi Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup
rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati
dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam
satu agama.
D.
Faktor
– Faktor Terbentuknya Kerukunan Umat Beragama
Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas
dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor penghambat kerukunan hidup
beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang
bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang
telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara
suatu agama dengan agama lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan faham
keagamaan kurangnya memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal
kehidupan beragama.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama
antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya nilai-nilai
luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling
hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya,
kerjasama di kalangan intern umat beragama, antar umat beragama dan antara umat
beragama dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini,
faktor-faktor pendukung adalah adanya konsensus-konsensus nasional yang sangat
berfungsi dalam pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang
atau yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama.
E.
Peran
Tokoh Agama dan Pemerintah
1. Peran Tokoh Agama
Membahas peranan tokoh agama dalam
pembangunan masyarakat memang sangat menarik, bukan saja lantaran tokoh agama
merupakan salah satu kompenon membentuk kerukunan agama. Melainkan karena pada
umumnya pembangunan dioerentasikan pada upaya – upaya manusia seutuhnya dan
serasi antara aspek lahiriyah dan batiniyah.
Peran serta aktif tokoh agama adalah
sangat diharapkan, karena meraka adalah pemimpin informal yang sangat sering
disegani, lebih dipatuhi dan lebih dicintai daripada pemimpin yang formal dalam
masyarakat Indonesia khususnya pada masyarakat dunia pada umumnya.
Pentingnya keterlibatan para tokoh
agama dalam pembangunan kerukunan umat beragama terutama pada pembangunan aspek
ruhaniah. Aspek tersebut tidak akan dapat terisi tanpa keterlibatan tokoh
agama. Dengan demikian keterlibatan tokoh agama dalam kegiatan pembangunan
kerukunan umat beragama menjadi sangat penting. Dalam pelaksanaannya tokoh
agama tidak hanya sebagai pembimbing ruhaniah akan tetapi lebih luas dan lebih
dirasakan oleh masyarakat. Adapun peran tokoh agama dalam membentuk kerukunan
umat beragama sebagai berikut :
a.
Pemimpin
agama sebagai motivator
Tokoh agama atau pemimpin agama
merupakan wakil representative dari msayarakat sehingga jabatan guru sekaligus
merupakana jabatan kemasyarakatan. Guru bertugas membina masyarakat agar
berpartisipasi dalam pembanguan. Dalam keududukan seperti ini, guru atau tokoh
agama bukan menjadi pengajar dalam kelas, tetapi diharapkan tampil aktif
sebagai pendidik dan pembimbing di masyarakat yang harus memberikan keteladanan
yang baik.
Tidak dapat disangkal bahwa tokoh
agama memiliki peran yang sangat besar sebagai motivator dalam pembanguann
sumber daya mansia untuk menuju masyarakat yang cinta damai dan menjungjung
tinggi kerukunan umat beragama. Dengan keterampilan kharisnya yang dimiliki
tokoh agama para pemimpin agama telah berperan aktif dalam mendukung suksesnya
kegiatan pembangunan menuju masyrakat yang cinta akan kedamaian.
b.
Pemimpin
Agama sebagai pembimbing moral
Dalam kennyataannya kegiatan
pembangunan umumnya selalu menuntut peran akatif para pemimpin agama dalam
meletakkan landasan moral, etis dan spiritual serta peningkatan pengamalan
agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan social. Berangkat
dari landasan inilah kegiatan pembangunan diarahkan kepada upaya pemulihan
harkat dan martabat manusia.
Peran tokoh agama dalam menjaga
keseimbangan baik fisik maupun moral ini mutlak sangat diperlukan. Jika peran
tokoh agama diabaikan maka pembangunan kerukunan umat beragama memiliki arah
tidak jelas dan masyarakat akan mengikuti hawa nafsunya.
c.
Pemimpin
sebagai mediator
Peran lain pada pimpinan agama yang
tidak kalah pentingnya dalam kaitannya pembangunan masyarakat dalam bingkai
kerukunan adalah tokoh agama menjadi wakil masyarakat dan sebagai pengantar
dalam menjalin kerjasama yang humanis di antara banyak puhak dalam rangka
melindungai kepentingan – kepentingan di masyakat dan lembaga – lembaga
keagamaan yang dijungjungnya.
Untuk membel kepentingan –
kepentingan ini, tokoh agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator di
antara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara msyarakat dan pemerintah
dan antara masyrakat miskin dan kelompok orang kaya dan antra kelompok agama
yang lain. Melalui para tokoh agama permetrintah dapat memahami yang diinginkan
masyarakat, dan sebaliknya pemerintah dapat mensosialisasikan program –
programnya kepada masyarakat melalui tokoh agama. Hal tersebut menjadikan sikap
saling kerjasa sama yang baik sehingga dirapkan dapat mampu mengatasi masalah
atau konflik pada msyarakat terutama konfilk antar umat beragama.[8]
Dalam
kaitannya peran tokoh agama untuk membentuk kerukunan umat beragama dan
penanganan konflik Pastor Agus Ulahaiayan, Pr, seorang tokoh agama Maluku
terkait kasus konflik di Maluka. Tokoh agama mempuyai ujuh peran penting dalam
penangana kasus Maluku antra lain sebagai berikut :
1)
Punya
keprihatinan yang tulus dan mendalam atas situasi yang ada. Memiliki kesadaran
dan rasa tanggungjawab yang tinggi, turut mengambil tanggungjawab, walaupun
bukan merupakan penyebab/sumber konflik).
2)
Informan
: mencari dan menyalurkan informasi secara cepat, tepat, jelas, “lengkap”,
terpercaya, tak berpihak, dan obyektif.
3)
Komunikator
: mewartakan dan mengupayakan kesadaran dan penegakan nilai-nlai kemanusiaan,
martabat dan hak asasi manusia, tata tertib atau aturan hidup bersama (hukum)
serta keutamaan-keutamaan seperti keadilan, kebenaran, kejujuran dan cinta
kasih.
4)
Stabilisator atau harmonisator : menjadi penyelaras,
pengimbang, penyejuk, dengan tetap menjaga netralitas, memperjuangkan kebaikan
umum untuk semua pihak;
5)
Motivator
atau inspirator : memberi pencerahan, jalan, semangat dan penguatan bagi semua
pihak untuk tetap berjuang demi perdamaian dan kebaikan umum;
6)
Fasilitator
atau moderator : memfasilitasi dan mengawal pelbagai aktivitas untuk perdamaian
dan kebaikan umum;
7)
Transformator
: memprakarsai perubahan, pemulihan, perbaikan dan peningkatan dengan memberi
koreksi atas kesalahan atau keburukan serta pengukuhan atau peneguhan atas
kebaikan dan kebenaran. Terutama berusaha menjadi contoh bagi atau sebagai
pembawa (agen) perdamaian dan pembaharuan atau perubahan serta persatuan dan
kesatuan, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa.[9]
2.
Peran pemerintah
Dalam
rangka perwujudan dan pembinaan di tengah keberagamaan agama dan budaya
kerukunan umat beragam memiliki hubungan yang sangat erat dengan ekonomi dan
politik. Oleh karena itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkan
cita-cita bersama ini. Adapun peran pemerintah yang dapat diperdayakan dan
diprogramkan sebagai berikut :
a.
Memberdayakan institusi keagamaan, artinya
lembaga-lembaga keagamaan didaya gunakan secara maksimal sehingga akan
mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama atau memupuk
hubungan antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan
untuk lebih memberikan bobot dalam menciptakan ukhuwah (persaudaraaan),
tentang tugas masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat
hubungan antar agama.
b.
Membimbing umat beragama agar makin meningkat
keimanan dan ketaqwaan yang Maha Esa dalam suasana rukun baik intern maupun
umat beragama
c.
Melayani dan menyediakan kemudahan bagi para
penganut agama
d.
Tidak mencapuri urusan akidah / dogma ibadah
suatu agama
e.
Mendorong peningkatan pengamalan dan penuaian
ajaran agama
f.
Melindungi agama dari penyalahgunaan penodaan
agama
g.
Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama
untuk rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hokum bersama
h.
Mendorong dan memfasilitasi serta mengembangkan
terciptanya dialog dan kerjasama antara pemimpin majelis – majelis, tokoh
agama, organisasi keagamaan dalam rangka membangun toleransi dan kerukunan umat
beragama.
i.
Mengembangkan wawasan mulkultural bagi segenap
lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan kerukunan umat beragama
j.
Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia
(pemimpin agama atau tokoh agama masyarakat local) untuk ketahanan kerukunan
umat beragama.
k.
Fungsionalisasi pranata local, serperti adat
istiadat, tradisi dan norma-norma social yang mendukung upaya kerukunan umat
beragama
l.
Mengundang partisipasi semua kelompok lapisan
masyarakat dan agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing – masing
melalui kegiatan dialog, musyawaroh, tatap muka, kerjasama social dan
sebagainya.
m.
Bersama – sama para pemimpin majelis agama
seperti Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja – Gereja di
Indonesia (PGI), Konfrensi Wali Gereja (KWI), Perishada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Mejelis Agama Khong Hu Chu
Indonesia (MATAKIN), Departemen Agama Melalui Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan melakukan kunjungan bersama – sama ke berbagai daerah dalam rangka
berdialog dengan umat di lapisan masyarakat bahwa dan memberikan pengertian
tentang pentingnya membina kerukunan umat beragama.
n.
Melakukan mediasi dengan berbagai kelompok yang
dilanda konflik (misalnya kasus Sampang) dalam rangka mencari solusi untuk
tercapainya rekonsiliasi, sehingga konflik bisa diberhentikan di masa depan.
o.
Membangun kembali sarana ibadah (Masjid dan
Gereja) yang rusak di daerah – daerah yang masyarakat terlibat konflik,
sehingga masyarakat dapat memfungsikan kembali rumah ibadah tersebut.[10]
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk
menciptakan kerukunan beragama merupakan tugas secara bersama. Namun dalam hal
ini pemerintah merupakan pemeran penting dalam membuat kebijakan dan memediasi
apabila terjadi konflik keagamaan.
Pemerintah sebagai pihak yang berwenang Melalui
Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri telah mengeluarkan peraturan bersama No :
9 dan No 8 Tahun 2009 tentang pedoman
pelaksanaan Pemerintah Daerah dalam pemeliharaan kerukunan, pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah. Salah satu point
penting dari peraturan itu pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
FKUB diharapkan dapat mampu memberikan dan menciptakan kerukunan umat beragama
dengan bimbingan dan arahan dari Kepada Daerah yakni Bupati atau Wali Kota.
F.
Pola Hubungan Tokoh Agama dan Pemerintah
Pola
dan hubungan tokoh agama dan pemerintah yang pernah dilakukan di bidang
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Namun yang harus digaris bagawahi dalam
pola hubungan ini, pemerintah tidak secara langsung melakukan hubungan dengan
tokoh agama akan tetapi dengan organisasi keagamaan yang dipimpin oleh tokoh
agama seperti MUI, FKUB, KWI dan lain sebagainya. Adapun beberpa contoh
kerjasama itu diantaranya adalah berikut :
1.
Departemen Agamna (Badan Litbang dan Diklat)
Pusat telah melaksanakan sejumlah kerjasama dengan sejumlah ormas keagamaan
dalam mensosialisasikan Peraturan Bersama Mentri Agam dan Mentri dalam Negeri
No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
2.
Departemen Agama juga telah melakukan Dialog
Kebangsaan dengan bekerjasama dengan beberapa Tokoh Agama.
3.
The Wahid Institute pernah melakukan kerjasama
dengan pemerintah dalam mmembahas dan melakukan penelitian tentang upaya kerukunan
umat beragama.
4.
Dalam kasus Ahmadiyah pemerintah sering
mendapat serangan kritikan dari masyarakat akan tepapi pemerintah lebih sering
melayaninya, daripada bersifat arogansi. Pemerintah terus melakukan komunikasi
kegamaan dengan beberapa tokoh agama dan mejelis keagaaan.[11]
Dalam pola hubungan tokoh agama dan pemerintah
pasti menemukan beberapa perbedahaan pendapat. Namun perbedaan pendapat ini
yang kemudian menyadarkan sesungguhnya betapa penting kerukunan umat beragama.
Pemerintah harus senantiasa menjadi lebih arif dan bijaksanan menerima kritikan
dan masukan dari masyakat. Masyakat juga mempuyai penyambung lidah dengan
adanyan tokoh agama, maka posisi tokoh agama menjadi sangat penting untuk
menengah – nengahi pemerintah dan masyarakat.
G.
Upaya Sinergi
Dapatkah
Tokoh Agam dan Pemerintah melakukan sinerji dalam pemeiliharaan kerukunan umat
beragama ? Jawabannya sangat mungkin bisa. Pada saat ini pemerintah nampaknya
sepakat bahwa kerukunan umat beragama adalah tujuan bersama. adapun upaya
sinergitas tokoh agama dan pemerintah dalam upaya pembentukan kerukunan umat
beragama adalah mengadakan kajian bersama secara teratur dan berkesinambungan
tentang berbagai kendala, baik berupa UU, peraturan maupun fenomena politik.
Seta mengadakan evaluasi kerja yang berkelanjutan sehingga dapat tercipta sikap
intropeksi dari masing – masing.
Dalam
upaya mewujudkan sinerji kerjasama anrara Tokoh Agam dan Pemerintah Diah Y.
Raharjo menyebutkan ada beberapa perinsip untuk melakukan kerjasama antara lain.
1.
Membangun kepercayaan dan komunikasi yang baik.
Berbagai cara dilakukan, diantaranya mencari orang kunci yang dapat dipandang
arif dan dapat menerima perbedaan dan membuka komunikasi.
2.
Menerima dan perbedaan atau pluralism. Tekanan
dalam prinsip perbedaan adalah kepahaman bahawa masing – masing pihak berdiri
pada posisi masing – masing.
3.
Kejelasan dan peran keterwakilan dalam kerjasama,
siapa akan berperan apa dan siapa akan mewakili siapa.
4.
Kesetaran dalam posisi dan struktur kerja
social
5.
Kesepatan dalam etika kerjasama, berkaitan
dengan kerjasama yang akan dibangun Tokoh Agama dan Pemerintah, etika ini
sebaiknya dicantumkan dalam tertulis.
6.
Kejelasan dalam mekanisme tanggung gugat.
Prinsip ini ditanamkan untuk memikirkan mekanisme pada tanggung jawab gugat
public pada program pengembangan masyarakat.[12]
H.
Analisa Perbandingan Profil
Peran Tokoh Agama dan Pemerintah dalam pemeliharaan
kerukunan Umat Beragama dapat dilihat secara nyata dari peran dan tugas yang
diemban selama ini. Berikut beberapa perbandingan profil keduanya.
Hal
|
Tokoh Agama
|
Pemerintah
|
Peran
|
Mendorong
terciptanya kerukunan umat beragama, upaya yang dilakukan memberikan
pemahaman dan mengajarkan tentang kerukunan umat beragama
|
Saling
menghormati anar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegera
|
Membudayakan
tradisi berdialog dan berdialog dengan beberapa tokoh agam yang lain
|
Mewujudkan
keamanan dalam negeri dalam kehidupan nasional tugas dan fungsi ini diemban
oleh penegak hokum yaitu POLRI.
|
|
Memberikan
contoh dalam perwujudan perlakukan setara kepada umat agama yang lain
|
Sistem politk
yang demokratis, pembangunan daerah
|
|
Pemimpin agama sebagai motivator
|
Memberdayakan
institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan didaya gunakan secara
maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik
|
|
Pemimpin Agama sebagai pembimbing
moral
|
Melayani dan menyediakan kemudahan
bagi para penganut agama
|
|
Pemimpin sebagai mediator
|
Melakukan
mediasi dengan berbagai kelompok yang dilanda konflik[13]
|
Dari analisa di atas, tergambar adanya peran –
peran sekaligus titik temu pada tataran tujuan yang dicapai Tokoh Agama dan
Pemerintah dalam upaya membentuk kerukunan umat beragama. Titik temu antara
peran Tokoh Agama dan Pemerintah menginginkan terwujudnya perdamaian, keamanan,
ketertiban, kehidupan yang demokratis, toleransi antar umat beragama, saling
pengertian, dialog dan kerjasama.
Lalu sinergi bagaimana yang dapat dilakukan?.
Pemerintah harus cermat menghadapi masalah yang timbul pada masyarakat dan
harus bisa mencari solusi alternatef dengan mencari akar masalah dan mencari
sosok (Tokoh Agama) yang dapat dimintai pendapat atau masukan untuk dijadikan
bahan perbadingan dalam pengambilan kebijakan.[14]
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan yang cukup panjang di atas,
dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.
Tokoh Agama dan Pemrintah, dalam posisinya
masing – masing, telah cukup berperan di dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Hal ini dapat dilihat dari kiprah Tokoh Agam dan Pemerintah yang
telah menngarah secara nyata pada upaya pemeriliharaan kerukunan umat beragama
2.
Pola hubungan yang terjadi antara Tokoh Agama
dan Pemerintah di dalam uapaya pemeliharaan kerukunan umat beragama secara
garis besar ada dua. Pertama, kerjasama berupa dialog keagamaan dan pelibatan
pada program. Kedua kerjasama dengan mengevaluasi program sebagai partner untuk
melengkapi satu dengan yang lain.
3.
Sinergi antara Tokoh Agama dan Pemerintah
pelibatan dalam pengambilan keputusan dalam kerukunan umat beragam
B.
Saran – Saran
Beberapa saran
yang dapat disampaikan, sebagai berikut :
1.
Tokoh Agama dan Pemerintah perlu terus
meningkatkan perannya dalam upaya pemerliharaan kerukunan umat beragama.
2.
Toko Agama dan Pemerintah untuk terus melakukan
operasi mengayowi masyarakat bawah, artinya harus bisa terjun langsung secara
bersama – sama, merasakan dan mencari solusi untuk meningkatkan kerukunan umat
beragama.
DAFTAR
PUSTAKA
Alamsjah,H. 1982. Pembinaan
Kerukunan Hldup Umat Beragama Departemen Agama RI. Jakarta: Wilayah kajian
Agama di Indonesia Depatemen Agama R I.
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan
dan Globalisasi, Yogyakarta : Insist Press, 2002
Kementrian Agama RI,
Dinama Kehidupan Keagamaan diera Reformasi. Jakarta : Maloha Press 2010
Salim Akmal, Peran dan Hubungan LSM dan Pemerintah,
Hal 74
Kementrian Agama RI, Dinamika Kehidupan
Keagmaan Di Era Refromasi, Jakarta : Maloho Jaya, 2010.
Pastor Agus Ulahaiayan, Pr.Peran Tokoh Agama dalam Kaus di Maluku.. hal 03
Naim, Sahibi 1985. Kerukunan Antar Umat Beragama.
Jakarta: Gunung Agung.
Saputera Agus, Kebijakan Dan Strategi Kerukunan Umat Beragama Di
Indonesia. Hal 05
Tanwirul Afkar, Inisiatif Perdamaian Meredam Konflik Agama dan
Budaya, Jakarta : LAKPESDAM NU, 2007
Ratu Atut Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Diva
Publiser
Rosidi, Imron. Sukses Menulis Karya Ilmiah, Pasuruan
: Pustaka Sidogiri
Afandi, Arief, Islam Demokrasi Atas Bawah, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1997
www.beritajatim.com, dengan kata kunci kasus sampan
www.musliminzuhdi.blogspot.com/
Berbagai upaya dalam membangun kerukunan umat
beragama/2013/03
[2] Kementrian
Agama RI, Dinama Kehidupan Keagamaan diera Reformasi. Jakarta : Maloha Press
2010
[3] Alamsjah,H.
1982. Pembinaan Kerukunan Hldup Umat Beragama Departemen Agama RI. Jakarta:
Wilayah kajian Agama di Indonesia Depatemen Agama R I.
[4] Naim,
Sahibi 1985. Kerukunan Antar Umat Beragama. Jakarta: Gunung Agung.
[6] Saputera
Agus, Kebijakan Dan Strategi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia. Hal
05
[7] Ratu
Atut Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Diva Publiser
[8]
Dadang, Kahmat, Sosiologi Agama, halm. 141
[11]
Salim, Ruhana, Peran dan Hubungan LSM dengan Pemerintah. 2010. Hal 60
[12]
Diah Y. Raharjo. Membangun Kemitraan dengan Organisasi Non – Pemerintah, dalam Akmal Salim Ruhana. Hal 89-91
[13]
Salim Akmal, Peran dan Hubungan LSM dan Pemerintah, Hal 71
[14]
Salim Akmal, Peran dan Hubungan LSM dan Pemerintah, Hal 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar