Jumat, 11 Oktober 2013

PEMBERDAYAAN PETANI LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH



Oleh : Mohmmad Sukri
Santri Pondok Pesantren Mifahul Ulum Panyepen Palengaan Pamekasan
 
Kehidupan petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk-produk pertanian lainnya masih saja terjadi.
Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970-an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.
Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.
Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.
Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.
Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran.
Daripada disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area “fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.
Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah, dimana para petani sudah tidak memiliki bargaining position lagi.
Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya.
Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/ perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2) terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan-angan.
Sehingga pada akhirnya diberlakukanlah otonomi daerah, dengan tujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan dan inovasi terhadap daerah yang dipimpinnya. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konsti- tusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya ke-sejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa mela-lui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keis-timewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kerangka otonomi daerah. Pemerintah daerah harus secara visioner mem-bangun daerah sebagai basis pengembangan petani lokal, dengan perluasan dan peningkatan kwalitas pertanian yang ada didaerahnya masing-masing. Pemerintah daerah jelas memainkan peran sebagai fasilitator  dan  akseletator per-tumbuhan serta pemberdayaan petani.
Salah satu upaya pemerintah daerah melalui dinas pertanian pertama, diperlukan penyuluhan pertanian modern berbasis kearifan lokal hingga pelosok desa, sehingga petani tidak harus bergantung dengan pupuk ataupun pestisida buatan pabrik yang dikuasai oleh para pemodal besar dan cenderung sulit dijangkau oleh petani yang berpendapatan kecil. Petani harus diberikan bekal pengetahuan untuk membuat pupuk maupun pestisida alami yang lebih aman dan menguntungkan serta telah tersedia di sekitar mereka.
Langkah ini merupakan langkah yang cukup efektif mengingat, petani Indonesia pendidikannya hanya samai pada jenjang pendidikan sekolah dasar bahkan masih banyak yang tidak tahu membaca atau buta aksara. Keikutsertaan peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan petani menjadi sebuah rangsangan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dalam skala daerah sehingga dapat berimbas pada penguatan hasil pertanian dalam skala nasional.
Langkah kedua adalah penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya alam lokal yang bertujuan jelas dan berkesinambungan. Indonesia sangat kaya akan varian sumber pangan, sedikit sentuhan teknologi pengolahan pangan dan penyuluhan yang berkelanjutan akan mampu menggantikan bahan makanan impor seperti gandum, gula, beras dan yang lainnya.
Langkah ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang kewirausahaan, petani wirausaha adalah petani yang berpikir dan bertindak untuk mengembangkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang dikerjakannya selama ini, sehingga hasil pertaniannya dapat lebih menguntungkan. Misalkan dengan mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih baik melalui penerapan teknologi baru yang pada akhirnya petani dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Kalau selama ini petani hanya bisa menanam, merawat dan memanen akan tetapi  petani juga dituntut untuk mengolah hasil pertaniannya menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih. Sehingga jika masa panen tiba hasil panen tidak serta – serta dilempar kepasar dengan harga yang relatif murah. Petani yang mampu menginovasi hasil panennya maka ia mampu secara lambat laun meningkatkan taraf kehidupannya. Hasil inovasi atau pengolahan pertanian juga harus bisa diimbangi dengan manajemen pemasaran dan distribusi yang baik serta kemampuan kerjasama sama dengan berbagai yang mampu meningkatkan nilai produktifitas barang yang diproduksi.
Langkah selanjutnya adalah membangun iklim usaha tani yang  produktif. Pemerintah daerah dituntut membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur produksi maupun distribusi, menjamin ketersediaan sarana produksi, mempermudah akses kredit usaha untuk petani kecil, serta memperkenalkan berbagai inovasi teknologi pertanian.
Langkah terakhir yaitu pemerintah harus menjamin harga jual yang menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani. Harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap semangat petani dalam meningkatkan produksinya. Apabila semua langkah diatas dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan tercipta fondasi pangan yang kuat dan konsisten


.
Akhirnya sudah saatnya pemerintah daerah lebih banyak memfokuskan kinerjanya unutk sektor pertanian di daerah atau sektor pertanian desa, karena sektor pertanian desa menjadi salah satu penunjang untuk penyediaan penyediaan ketahanan pangan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi inpirasi bagi pembaca sekalian, Amiin.

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH



Oleh :
Mohammad Sukri

Pada saat ini rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya kurang tertanam di generasi muda Indonesia. Minat mereka untuk mempelajarinya sudah sangat kurang. Padahal seharusnya generasi muda tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam melestarikan kebudayaan Indonesia agar kebudayaan tersebut akan tetap ada sampai kapan pun. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Generasi muda zaman sekarang ini lebih tertarik untuk mengenal dan mempelajari budaya-budaya asing yang kini telah masuk ke Indonesia. Maraknya aksi-aksi moral yang tidak baik memang sudah sangat memprihatinkan, apalagi di tambah dengan kurangnya nilai-nilai budaya lokal yang semakin memperburuk keadaan. Meskipun demikian generasi muda Indonesia tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia memang membawa dampak yang cukup besar terhadap generasi muda saat ini.
Dari semua budaya asing yang masuk, tidak semuanya membawa pengaruh positif bagi generasi muda maka dari itu para generasi muda harus dapat memilah-milah sendiri mana yang harus ditinggalkan dan mana yang dapat diterima ke dalam nilai-nilai moral budaya lokal untuk di kembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam menanggapi hal tersebut generasi  muda harus berusaha agar jati diri mereka sebagai generasi muda penerus bangsa tidak rusak.
Banyaknya tindak kejahatan sekarang ini akibat dari generasi muda yang tidak bisa membedakan baik buruknya budaya asing yang masuk. Tindak kriminal, narkoba, perkosaan, pergaulan bebas dapat terjadi karena generasi muda meniru kebudayaan asing yang menurut mereka tidak aneh lagi untuk diikuti. Oleh sebab itu seharusnya para generasi muda tidak bisa begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak hancur dan generasi muda dapat membangun Indonesia menjadi negara maju tanpa terpengaruh oleh budaya asing.
Pengaruh globalisasi juga sangat besar terhadap generasi muda. Pengaruh tersebut menyebabkan banyak anak muda yang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang telah muncul dalam kehidupan sehari-hari contohnya, dari cara berpakaian remaja-remaja saat ini yang cenderung mengikuti budaya asing. Mereka memakai pakaian yang minim sehingga memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan. Padahal untuk melestarikan budaya bangsa seharusnya mereka memakai pakaian yang sopan sesuai dengan norma-norma budaya yang berlaku.
Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia sangat diharapkan mampu memilah-milah dan mengantisipasi terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia karena budaya tersebut ada yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita dan akan berdampak sangat buruk terhadap budaya Indonesia. 
Pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya otonomi pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk lebih memacu pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan adat dan budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya lokal  terpatahkan dengan beberapa fakta dan kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus dipegang teguh oleh bersama. Banyak masyarakat yang masih belum paham terhadap adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang . Padahal adat dan budaya tersebut menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, namun tetap dalam bingkai bhenika tunggal ika.
Peserta didik asing didaerahnya  sendiri, bahkan yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli daerah sendiri, seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi barang asing ditelinga peserta didik, mereka menganggap bahasa Madura kurang penting, dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak yang lainnya. Anggapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya peserta didik untuk belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya Madura hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan dan porsi jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan diatas kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti balai Pengembangan Budaya dan Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap kurang diminatinya bahasa Madura oleh peserta didik adalah pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi di Madura. Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih bergengsi berbahasa bahasa bangsa orang lain daripada berbahasa daerahnya sendiri.
Berangkat darai berbagai permasalaha diatas, perlu adanya penyelematan budaya yang selama ini sudah ditingggalkan oleh pelajar dan masyarakat. Penyelematan budaya ini akan bisa terlaksanana dengan baik jika dimulai pada institusi pendidikan, karena institusi pendidikan tempat belajar generasi muda yang masih fresh menerima materi, praktek tentang budaya dan pengembangan kreatifitas budaya asli daerah. Pengembangan pendidikan tidak hanya berkutak pada institusi pendidikan formal saja tetapi lebih masuk pada ranah pendidikan non formal seperti kursus,,sanggar budaya dan lembaga pengembangan budaya lainnya.
Oleh karena itu peran pemerintah daerah dalam hal ini walikota, bupati dan pelaku kebijakan pendidikan harus bisa memutar otak untuk lebih serius dalam penyelamatran budaya asli daerah adapun usaha yang dapat dilakukan adalah pertama, otoritas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam konteks Otonomi Daerah di bidang pendidikan secara formal mengharuskan pembangunan infrastruktur pendidikan atau mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan for-mal, pendidikan non-formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat dengan pembangunan infrastruktur pendidikan berbasis budaya lokal misalnya pembangunan laboratorium budaya atau mesium budaya serta sentra budaya yang dapat dikunjungi dan dipelajari oleh masyarakat seperti sanggar tari tradisional dan sanggar music daerah.
Kedua, perlu adanya penambahan jam mata pelajaran dan mamasukkan mata pelajaran budaya pada kurikulum pendidikan fomal dan non formal. Sebagai legitimasi dan kebijakan langsung dari pemerintah daerah dan stake holder pendidikan.
Ketiga, membuat kebijakan dengan mengharuskan calon peserta didik yang berdomisili di daerah tersebut mengusai bahasa daerah, dan dijadikan sebagai bahan tes masuk sekolah pada tiap jenjang pendidikan. Keempat, megadakan festifal budaya daerah dalam rangka memberikan pendidikan dan pengetahuan secara tidak langsung pada masyarakat dan generasi muda.
Akhirnya, gerakan cinta budaya menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat, budaya dan bahasa daerah yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara luas. Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain.
Gerakan cinta dan memperlajari budaya asli pada akhirnya dapat berpengaruh pada pengembalian karakter atau adat budaya yang telah lama diajarkan oleh nenek moyang kita, seperti nilai kesopanan gotong royong dan silaturrahmi yang selama ini telah hilang dimasyarakat. Pengembalian nilai – nilai budaya atau karakter masyarakat ini dapat dikembalikan dengan mempelajari budaya dan mengetahui bahasa asli daerah sendiri.
Wallhu a’lam bissowab.

Kamis, 26 September 2013





PERAN DAN HUBUNGAN TOKOH AGAMA DENGAN PEMERINTAH
(Studi Analisis Upaya Pemeliharaan Kerukunan Antar Umat Beragama)



KARYA TULIS ILMIAH


Ditulis Untuk Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa
PKC PMII Jawa Timur





                                                                                                       



 

Oleh :

MOHAMMAD SUKRI


 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MIFTAHUL ULUM PANYEPEN PAMEKASAN
TAHUN 2013







BAB I
PENDAHULUAN

A.      Konteks Masalah
Selain faktor intelijen yang lemah dalam mengantisipasi dini penyerangan atas Syiah Sampang, ternyata sejak dua tahun terakhir Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sampang masih terkatung-katung alias 'mati suri'.
Ini karena Bupati Sampang Noer Tjahja tidak segera mengukuhkan kepengurusan FKUB yang baru hingga saat ini. Untuk membantu pemerintah meredam kasus kekerasan dengan sentimen agama, Ketua FKUB Jatim Endro Siswantoro mendesak Bupati Sampang segera membentuk kepengurusan yang baru.
FKUB ini bertugas untuk menjaga kerukunan umat beragama, baik antarumat beragama maupun antarumat dalam satu agama. Di Indonesia, sepertinya Sampang lah yang satu-satunya tidak mempunyai FKUB, tegas Ketua FKUB Jatim Endro Siswantoro, Selasa (28/8/2012).
Pihaknya menyesalkan sikap Pemkab Sampang yang tidak segera mengaktifkan kembali FKUB. Padahal, FKUB sebenarnya sangat bermanfaat untuk menjaga kerukunan umat beragama di daerah. Ternyata, Kabupaten Sampang merupakan satu-satunya daerah yang tidak memperhatikan keberadaan kelembagaan yang diisi berbagai perwakilan pemeluk agama itu.
Tak heran jika permasalahan agama ini kembali terjadi untuk kedua kalinya di daerah tersebut, sebab penanganan secara keagamaan juga tidak bisa ditangani secara maksimal. Padahal, timbulnya konflik agama bisa dipicu dari berbagai faktor.
Endro menjelaskan, FKUB Jatim tetap akan mendorong agar Gubernur Jatim Soekarwo segera membuat kebijakan yang berkaitan dengan penanganan masalah tersebut, salah satunya dengan diaktifkannya kelembagaan FKUB ini.
Sebelumnya, beberapa kali Bupati Sampang, Noer Tjahja mengungkapkan dan menegaskan kalau dirinya menolak imbauan pemerintah membentuk forum kerukunan umat beragama di wilayah tersebut.
Bahkan, saat itu dia mengaku, pemkab memang sudah beberapa kali menerima surat dari menteri supaya mengukuhkan forum tersebut. Hal ini juga diakui Endro yang juga telah melayangkan surat ke Pemkab Sampang untuk mengukuhkan FKUB.
Sekedar diketahui, terbentuknya FKUB di Kabupaten Sampang pada 1997 silam. Selanjutnya, masa bakti habis pada 2010. Setelah itu, status kepengurusan FKUB sampai saat ini terkatung-katung. Sebab, bupati tidak segera mengukuhkan kepengurusan yang baru.
"Kami akan merapatkan diri kembali agar ada dorongan kembali ke Sampang agar kelembagaan ini kembali ada dan bisa mengkondusifkan daerah tersebut," tukasnya. Endro juga kembali menyerukan, agar semua pihak yang bertikai bisa menahan diri dan tidak terprovokasi dengan kepentingan apapun. Sebab, saat ini masalah sekecil apapun, bisa menjadikan masalah yang besar hingga terjadi kerusuhan.
Belajar dari kasus Sampang banyak yang menilai kasus yang terjadi di Sampang sangat disayangkan karena merugikan masyarakat yang tidak ikut campur tentang duduk permasalahan yang sesungguhnya. Orang luar Madura menilai masyarakat Madura masih kental dengan aroma kekerasan, masih kental dengan budaya carok dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Kerukunan dan perdamaian manjadi sesuatu yang mahal dan sangat dirindukan oleh masyarakat yang cinta akan kerukunan dan kedamaian. Masyarakat jenuh dengan situasi dan kondisi yang mengganggu aktifitas dan kenyamanan hidup mereka. Sehingga kerukunan dan hidup saling berdampingan antar agama, suku, etnis dan kelompok budaya yang berbeda menjadi agenda penting untuk mengembalikan nilai adat ketimuran yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Seperti falsafah gotong royong dan menghargai budaya sesama.
Oleh karena itu persersoalan kerukunan umat beragama senantiasa perlu terus-menerus disosialisasikan. Karena, tak dapat dipungkiri banyak konflik antarumat beragama dan intern umat beragama di Indonesia pada kenyataannya masih terus berlangsung hingga hari ini. Kerukunan umat beragama sangat kita perlukan, agar kita semua bisa menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat di bumi Indonesia ini dengan damai, sejahtera, dan jauh dari kecurigaan kepada kelompok-kelompok lain.
Dengan begitu, agenda-agenda kemanusiaan yang seharusnya dilakukan dengan kerja sama antaragama, seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa, dapat segera dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Agenda-agenda tersebut, jelas tidak dapat dilaksanakan dengan optimal, jika masalah kerukunan umat beragama belum terselesaikan. Fakta menjelaskan meskipun setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan keselarasan hidup, realitas menunjukkan pluralisme agama bisa memicu pemeluknya saling berbenturan dan bahkan terjadi konflik. Konflik jenis ini dapat mempunyai dampak yang amat mendalam dan cenderung meluas.
Dalam hal ini, pengertian konflik agama tidak saja terjadi antar agama yang berbeda atau yang dikenal dengan istilah konflik antaragama tetapi sering terjadi konflik antara umat dalam satu agama atau konflik intra agama. Munculnya berbagai kasus terkait dengan persoalan keagamaan, yang dipicu oleh beberapa hal antara lain: Pertama, pelecehan atau penodaan agama melalui penggunaan simbol-simbol, maupun istilah-istilah keagamaan dari suatu agama oleh pihak lain secara tidak bertanggung jawab.
Kedua, fanatisme agama yang sempit. Fanatisme yang dimaksud adalah suatu sikap yang mau menang sendiri serta mengabaikan kehadiran umat beragama lainnya yang memiliki cara atau ritual ibadah dan paham agama yang berbeda. Ketiga adalah adanya diskomunikasi dan miskomunikasi antar umat beragama. Konflik dapat terjadi karena adanya miskomunikasi (salah paham) dan dikomunikasi (pembodohan yang disengaja).
Secara historis, politis, dan sosiologis, Indonesia punya modal sangat kuat dalam menangani atau meredam konflik tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah pembentukan dan perjuangan Kemerdekaan bangsa ini. Bangsa Indonesia yang beratus-ratus tahun dijajah Belanda, serta Jepang, berhasil merdeka berkat kerja sama erat dan saling bahu-membahu para pendiri bangsa yang berbeda agama.
Penghapusan Piagam Jakarta dan kata-kata Kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya, merupakan bentuk kompromi politik dari Bapak Bangsa untuk menjamin agar tidak ada superioritas antarsatu agama di atas agama lain dan demi terjaganya kerukunan umat beragama di Indonesia. Bahkan, Pancasila dan slogan Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi visi, misi, dan panduan yang memberikan pedoman tentang pentingnya kerukunan umat beragama untuk bangsa ini pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Dialog intern umat beragama juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan kehidupan umat beragama, yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati dan pikiran di kalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun dengan umat beragama lainnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara kasatmata pemimpin agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan Muslim, mubaligh, dai, dan kiai maupun pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan penganut dan pemimpin agama Kristen Katolik, Hindu, Buddha maupun agama Kong Hu Cu.
Dalam penyosialisasian, pendiseminasian, penegakan, dan penyuburan kerukunan umat beragama ini, sebetulnya pemerintah melalui Departemen Agama menduduki posisi yang penting dan sangat menentukan. Sebagai departemen yang diberi tugas mengatur dan menangani persoalan serta urusan keagamaan bagi seluruh rakyat Indonesia, tentunya Depag harus terus membuka mata dan memperhatikan masalah-masalah kehidupan umat beragama, baik yang berskala kecil maupun besar. Problem itu, tentunya sangat berkaitan dengan relasi umat agama di Indonesia yang terdiri atas multiagama, multiorganisasi, multiperspektif.
Sudah banyak kebijakan pemerintah mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama; baik mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendirian dan penggunaan rumah ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antaragama dalam bidang pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat beragama.
Pemerintah sejak 1970-an sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia. Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting, sebagai bentuk penyiapan kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia.
Upaya ini dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menyosialisasikan pentingnya trilogi kerukunan umat beragama. Pertama, kerukunan antarumat beragama, yaitu kerukunan dan saling menghormati di antara pemeluk berbagai agama. Kedua, kerukunan intern umat beragama, yaitu kerukunan di antara golongan-golongan dalam satu agama tertentu.
Ketiga, kerukunan di antara semua kelompok keagamaan dan pemerintah.
Yang juga penting adalah bagaimana agar kerukunan umat beragama itu tidak terus bersifat top-down, elitis, dan berhenti pada dialog formal dan seremonial saja. Kerukunan umat beragama memang harus didorong dan diberikan motivasi oleh pemerintah, juga hendaknya diupayakan penyediaan fasilitas untuk mendukung itu. Akan tetapi, para pemuka agama harus juga berinisiatif agar kesadaran ini terus tersebar dalam level grassroots dan menjadi bagian dari pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan bangsa.
Pemerintah dan tokoh agama berperan penting dalam peredaman dan penyelesaian konflik agama. Pemerintah sebagai wujud pembuat kebijakan dan yang menjalankan kebijakan sedangkan tokoh agama menjadi salah satu garda terpenting dalam penyadaran dan memberikan pencerahan terhadap pemeluk agamanya masing-masing.
Berangkat dari latar belakang di atas penulis berinisiatif untuk mengkaji dan menganalisis permasalaha dengan judul kajian, Peran Tokoh Agama dan Pemerintah Studi Analisis Upaya Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

B.            Fokus Masalah
Analisis ini dirancang untuk menemukan urgensitas peran tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama. Hal ini dipandang perlu karena selama ini upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak masih dinilai belum menampakkan langkah-langkah yang konkrit, sehingga dapat mengakibatkan konfrontasi yang kontraproduktif bagi kerukunan.
Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji, berikut sejumlah pertanyaan kajian yang dicoba dijawab dalam kajian ini :
1.        Bagaimana peran dan hubungan tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama ?
2.        Bagaimana pola dan hubungan antara tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama ?
3.        Mungkinkah dilakukan sinergi antara tokoh agama dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan umat beragama?, jika ya dalam bentuk apa sinergi yang dapat dilakukan ?

C.            Tujuan Penulisan
Sesuan dengan permasalahan di atas, maka kajian ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui  peran dan hubungan tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama.
2.      Mengetahui pola dan hubungan antara tokoh agama dan pemerintah dalam membentuk kerukunan umat beragama.
3.      Mengetahui kemungkinan dilakukan sinergi antara tokoh agama dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan umat beragama.

D.           Manfaat Penulisan
Pembahasan ini akan menghasilkan gambaran tentang pola-pola hubungan yang dikembangkan untuk terciptanya sinergitas yang baik antara tokoh agama dan pemerintah dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama di Indonesia. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat memberikan konstribusi positif bagi perkembangan demokrasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan nasional.


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Mengenal Sekilas Indonesia
Indonesia atau nama resminya Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah salah satu negara di dunia yang wilayahnya dilintasi khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis yang hanya mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini berpengaruh terhadap keragaman flora dan fauna, serta kekayaan alam. Keanekaragaman hayatinya adalah yang terbesar kedua di dunia. Wilayahnya terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan dua Samudera yaitu Pasifik dan Hindia pada 6Â LU dan 11Â LS, serta 95Â BT dan 141Â BT.[5]
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, terbentang jauh memanjang dari Sabang sampai Merauke tak kurang dari 5000 km, sehingga pembagian waktunya dibagi atas tiga wilayah waktu yaitu Waktu Indonesia bagian Barat (WIB), Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia bagian Timur (WIT). [6]
Sumber daya alam atau kekayaan alam tersebar di daratan maupun perairan seperti laut, sungai dan danau. Populasinya lebih dari 237 juta jiwa (menurut sensus tahun 2010) dengan kepadatan penduduk sebesar 124/km persegi. Terdiri dari tak kurang 1.128 suku bangsa dengan aneka tradisi, adat, budaya dan bahasa yang masih terpelihara hingga kini. Berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Dengan kondisi seperti di atas, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki spesifikasi dan keunikan-keunikan tersendiri.  Secara umum, spesifikasi atau keunikan-keunikan itu antara lain:
1.        Indonesia luas wilayahnya menempati urutan ketujuh di dunia.
2.        Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
3.        Wilayah Indonesia sedemikian strategis, terletak di antara dua benua dan dua samudra yang terdiri dari belasan ribu pulau yang bertebaran di sekitar garis khatulistiwa dan alamnya relatif subur dan indah.
4.        Jumlah penduduknya menempati urutan keempat di dunia dan mayoritas beragama Islam.
Khusus mengenai kondisi penduduk Indonesia maka keunikan-keunikannya antara lain, adalah:
1.             Penduduk Indonesia sedemikian majemuk, baik mengenai banyaknya suku bangsa, budaya, bahasa daerah, agama/kepercayaan yang dianut dan sebagainya.
2.             Pada dasarnya bangsa Indonesia cinta damai demi persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak memasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut di atas.

B.            Indonesia Yang Plural Dan Multikultural
Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society) dan masyarakat multikultural (multikultural society). Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yaitu suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan yang dapat dipelajari tentang masyarakat manusia, termasuk kepercayaan, seni, moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan pluralisme masyarakat itu.
Dengan demikian ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu:
1.             Adanya pluralisme masyarakat.
2.             Adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama.
3.             Adanya kebanggaan terhadap pluralisme itu
4.             Indonesia sendiri bahkan sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk.
Oleh karena itu ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang disepakati sebagai simbol pemersatu negara Nusantara ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan kemajemukan Indonesia dan menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas ke-Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
Sekalipun terdapat unsur-unsur yang berbeda, namun kemauan untuk mempersatukan bangsa sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan, sesungguhnya dapat menjadi potensi kesadaran etik pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Pada dasarnya pula, hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia.
Memang tidak bisa dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam berbagai hal tersebut merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan itu tidaklah terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh masing-masing individu dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis, yang membawa pula kepada bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh generasi terdahulu, perintis bangsa cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan filosofi keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka Tunggal Ika itu.

C.            Tinjaun Tentang Kerukunan
Kata kerukunan dari kata rukun berasal dari bahasa Arab, ruknun (rukun) jamaknya akan berarti asas atau dasar, misalnya rukun Islam, asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti rukun adalah sebagai berikut : Rukun (n-nomina) : (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti : tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti : dasar, sendi : semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun Islam : tiang utama dalam agama Islam, rukun iman : dasar kepercayaan dalam agama Islam: Rukun (a-ajektiva) berarti (1) baik dan damai.tidak bertentangan : kita hendaknya hidup rukun dengan tetangga; (2) bersatu hati, bersepakat : penduduk kampung itu rukun sekali. Merukunkan berarti : (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan : kerukunan hidup bersama.
Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar tolong-menolong dan persahabatan; rukun tani : perkumpulan kaum tani; rukun tetangga; perkumpulan antara orang-orang yang bertetangga; rukun warga atau rukun kampung perkumpulan antara kampong-kampung yang berdekatan (bertetangga, dalam suatu kelurahan atau desa).
Jadi Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam satu agama.

D.           Faktor – Faktor Terbentuknya Kerukunan Umat Beragama
Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama dengan agama lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan faham keagamaan kurangnya memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal kehidupan beragama.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini, faktor-faktor pendukung adalah adanya konsensus-konsensus nasional yang sangat berfungsi dalam pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang atau yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama.

E.            Peran Tokoh Agama dan Pemerintah
1.      Peran Tokoh Agama
Membahas peranan tokoh agama dalam pembangunan masyarakat memang sangat menarik, bukan saja lantaran tokoh agama merupakan salah satu kompenon membentuk kerukunan agama. Melainkan karena pada umumnya pembangunan dioerentasikan pada upaya – upaya manusia seutuhnya dan serasi antara aspek lahiriyah dan batiniyah.
Peran serta aktif tokoh agama adalah sangat diharapkan, karena meraka adalah pemimpin informal yang sangat sering disegani, lebih dipatuhi dan lebih dicintai daripada pemimpin yang formal dalam masyarakat Indonesia khususnya pada masyarakat dunia pada umumnya.
Pentingnya keterlibatan para tokoh agama dalam pembangunan kerukunan umat beragama terutama pada pembangunan aspek ruhaniah. Aspek tersebut tidak akan dapat terisi tanpa keterlibatan tokoh agama. Dengan demikian keterlibatan tokoh agama dalam kegiatan pembangunan kerukunan umat beragama menjadi sangat penting. Dalam pelaksanaannya tokoh agama tidak hanya sebagai pembimbing ruhaniah akan tetapi lebih luas dan lebih dirasakan oleh masyarakat. Adapun peran tokoh agama dalam membentuk kerukunan umat beragama sebagai berikut :
a.         Pemimpin agama sebagai motivator
Tokoh agama atau pemimpin agama merupakan wakil representative dari msayarakat sehingga jabatan guru sekaligus merupakana jabatan kemasyarakatan. Guru bertugas membina masyarakat agar berpartisipasi dalam pembanguan. Dalam keududukan seperti ini, guru atau tokoh agama bukan menjadi pengajar dalam kelas, tetapi diharapkan tampil aktif sebagai pendidik dan pembimbing di masyarakat yang harus memberikan keteladanan yang baik.
Tidak dapat disangkal bahwa tokoh agama memiliki peran yang sangat besar sebagai motivator dalam pembanguann sumber daya mansia untuk menuju masyarakat yang cinta damai dan menjungjung tinggi kerukunan umat beragama. Dengan keterampilan kharisnya yang dimiliki tokoh agama para pemimpin agama telah berperan aktif dalam mendukung suksesnya kegiatan pembangunan menuju masyrakat yang cinta akan kedamaian.
b.         Pemimpin Agama sebagai pembimbing moral
Dalam kennyataannya kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran akatif para pemimpin agama dalam meletakkan landasan moral, etis dan spiritual serta peningkatan pengamalan agama, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan social. Berangkat dari landasan inilah kegiatan pembangunan diarahkan kepada upaya pemulihan harkat dan martabat manusia.
Peran tokoh agama dalam menjaga keseimbangan baik fisik maupun moral ini mutlak sangat diperlukan. Jika peran tokoh agama diabaikan maka pembangunan kerukunan umat beragama memiliki arah tidak jelas dan masyarakat akan mengikuti hawa nafsunya.
c.         Pemimpin sebagai mediator
Peran lain pada pimpinan agama yang tidak kalah pentingnya dalam kaitannya pembangunan masyarakat dalam bingkai kerukunan adalah tokoh agama menjadi wakil masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerjasama yang humanis di antara banyak puhak dalam rangka melindungai kepentingan – kepentingan di masyakat dan lembaga – lembaga keagamaan yang dijungjungnya.
Untuk membel kepentingan – kepentingan ini, tokoh agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara msyarakat dan pemerintah dan antara masyrakat miskin dan kelompok orang kaya dan antra kelompok agama yang lain. Melalui para tokoh agama permetrintah dapat memahami yang diinginkan masyarakat, dan sebaliknya pemerintah dapat mensosialisasikan program – programnya kepada masyarakat melalui tokoh agama. Hal tersebut menjadikan sikap saling kerjasa sama yang baik sehingga dirapkan dapat mampu mengatasi masalah atau konflik pada msyarakat terutama konfilk antar umat beragama.
Dalam kaitannya peran tokoh agama untuk membentuk kerukunan umat beragama dan penanganan konflik Pastor Agus Ulahaiayan, Pr, seorang tokoh agama Maluku terkait kasus konflik di Maluka. Tokoh agama mempuyai ujuh peran penting dalam penangana kasus Maluku antra lain sebagai berikut :
1)      Punya keprihatinan yang tulus dan mendalam atas situasi yang ada. Memiliki kesadaran dan rasa tanggungjawab yang tinggi, turut mengambil tanggungjawab, walaupun bukan merupakan penyebab/sumber konflik).
2)      Informan : mencari dan menyalurkan informasi secara cepat, tepat, jelas, “lengkap”, terpercaya, tak berpihak, dan obyektif.
3)      Komunikator : mewartakan dan mengupayakan kesadaran dan penegakan nilai-nlai kemanusiaan, martabat dan hak asasi manusia, tata tertib atau aturan hidup bersama (hukum) serta keutamaan-keutamaan seperti keadilan, kebenaran, kejujuran dan cinta kasih.
4)      Stabilisator  atau harmonisator : menjadi penyelaras, pengimbang, penyejuk, dengan tetap menjaga netralitas, memperjuangkan kebaikan umum untuk semua pihak;
5)      Motivator atau inspirator : memberi pencerahan, jalan, semangat dan penguatan bagi semua pihak untuk tetap berjuang demi perdamaian dan kebaikan umum;
6)      Fasilitator atau moderator : memfasilitasi dan mengawal pelbagai aktivitas untuk perdamaian dan kebaikan umum;
7)      Transformator : memprakarsai perubahan, pemulihan, perbaikan dan peningkatan dengan memberi koreksi atas kesalahan atau keburukan serta pengukuhan atau peneguhan atas kebaikan dan kebenaran. Terutama berusaha menjadi contoh bagi atau sebagai pembawa (agen) perdamaian dan pembaharuan atau perubahan serta persatuan dan kesatuan, dengan tetap berpegang pada keyakinan bahwa.

2.      Peran pemerintah
Dalam rangka perwujudan dan pembinaan di tengah keberagamaan agama dan budaya kerukunan umat beragam memiliki hubungan yang sangat erat dengan ekonomi dan politik. Oleh karena itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita bersama ini. Adapun peran pemerintah yang dapat diperdayakan dan diprogramkan sebagai berikut :
a.          Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan didaya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama atau memupuk hubungan antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot dalam menciptakan ukhuwah (persaudaraaan), tentang tugas masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat hubungan antar agama.
b.         Membimbing umat beragama agar makin meningkat keimanan dan ketaqwaan yang Maha Esa dalam suasana rukun baik intern maupun umat beragama
c.          Melayani dan menyediakan kemudahan bagi para penganut agama
d.         Tidak mencapuri urusan akidah / dogma ibadah suatu agama
e.          Mendorong peningkatan pengamalan dan penuaian ajaran agama
f.          Melindungi agama dari penyalahgunaan penodaan agama
g.         Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hokum bersama
h.         Mendorong dan memfasilitasi serta mengembangkan terciptanya dialog dan kerjasama antara pemimpin majelis – majelis, tokoh agama, organisasi keagamaan dalam rangka membangun toleransi dan kerukunan umat beragama.
i.           Mengembangkan wawasan mulkultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan  kerukunan umat beragama
j.           Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (pemimpin agama atau tokoh agama masyarakat local) untuk ketahanan kerukunan umat beragama.
k.         Fungsionalisasi pranata local, serperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma social yang mendukung upaya kerukunan umat beragama
l.           Mengundang partisipasi semua kelompok lapisan masyarakat dan agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing – masing melalui kegiatan dialog, musyawaroh, tatap muka, kerjasama social dan sebagainya.
m.       Bersama – sama para pemimpin majelis agama seperti Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja – Gereja di Indonesia (PGI), Konfrensi Wali Gereja (KWI), Perishada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI), Mejelis Agama Khong Hu Chu Indonesia (MATAKIN), Departemen Agama Melalui Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan melakukan kunjungan bersama – sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan masyarakat bahwa dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina kerukunan umat beragama.
n.         Melakukan mediasi dengan berbagai kelompok yang dilanda konflik (misalnya kasus Sampang) dalam rangka mencari solusi untuk tercapainya rekonsiliasi, sehingga konflik bisa diberhentikan di masa depan.
o.         Membangun kembali sarana ibadah (Masjid dan Gereja) yang rusak di daerah – daerah yang masyarakat terlibat konflik, sehingga masyarakat dapat memfungsikan kembali rumah ibadah tersebut
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk menciptakan kerukunan beragama merupakan tugas secara bersama. Namun dalam hal ini pemerintah merupakan pemeran penting dalam membuat kebijakan dan memediasi apabila terjadi konflik keagamaan.
Pemerintah sebagai pihak yang berwenang Melalui Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri telah mengeluarkan peraturan bersama No : 9 dan No 8 Tahun  2009 tentang pedoman pelaksanaan Pemerintah Daerah dalam pemeliharaan kerukunan, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadah. Salah satu point penting dari peraturan itu pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB diharapkan dapat mampu memberikan dan menciptakan kerukunan umat beragama dengan bimbingan dan arahan dari Kepada Daerah yakni Bupati atau Wali Kota.

F.             Pola Hubungan Tokoh Agama dan Pemerintah
Pola dan hubungan tokoh agama dan pemerintah yang pernah dilakukan di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Namun yang harus digaris bagawahi dalam pola hubungan ini, pemerintah tidak secara langsung melakukan hubungan dengan tokoh agama akan tetapi dengan organisasi keagamaan yang dipimpin oleh tokoh agama seperti MUI, FKUB, KWI dan lain sebagainya. Adapun beberpa contoh kerjasama itu diantaranya adalah berikut :
1.        Departemen Agamna (Badan Litbang dan Diklat) Pusat telah melaksanakan sejumlah kerjasama dengan sejumlah ormas keagamaan dalam mensosialisasikan Peraturan Bersama Mentri Agam dan Mentri dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
2.        Departemen Agama juga telah melakukan Dialog Kebangsaan dengan bekerjasama dengan beberapa Tokoh Agama.
3.        The Wahid Institute pernah melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam mmembahas dan melakukan penelitian tentang upaya kerukunan umat beragama.
4.        Dalam kasus Ahmadiyah pemerintah sering mendapat serangan kritikan dari masyarakat akan tepapi pemerintah lebih sering melayaninya, daripada bersifat arogansi. Pemerintah terus melakukan komunikasi kegamaan dengan beberapa tokoh agama dan mejelis keagaaan
Dalam pola hubungan tokoh agama dan pemerintah pasti menemukan beberapa perbedahaan pendapat. Namun perbedaan pendapat ini yang kemudian menyadarkan sesungguhnya betapa penting kerukunan umat beragama. Pemerintah harus senantiasa menjadi lebih arif dan bijaksanan menerima kritikan dan masukan dari masyakat. Masyakat juga mempuyai penyambung lidah dengan adanyan tokoh agama, maka posisi tokoh agama menjadi sangat penting untuk menengah – nengahi pemerintah dan masyarakat.

G.           Upaya Sinergi
Dapatkah Tokoh Agam dan Pemerintah melakukan sinerji dalam pemeiliharaan kerukunan umat beragama ? Jawabannya sangat mungkin bisa. Pada saat ini pemerintah nampaknya sepakat bahwa kerukunan umat beragama adalah tujuan bersama. adapun upaya sinergitas tokoh agama dan pemerintah dalam upaya pembentukan kerukunan umat beragama adalah mengadakan kajian bersama secara teratur dan berkesinambungan tentang berbagai kendala, baik berupa UU, peraturan maupun fenomena politik. Seta mengadakan evaluasi kerja yang berkelanjutan sehingga dapat tercipta sikap intropeksi dari masing – masing.
Dalam upaya mewujudkan sinerji kerjasama anrara Tokoh Agam dan Pemerintah Diah Y. Raharjo menyebutkan ada beberapa perinsip untuk melakukan kerjasama antara lain.
1.      Membangun kepercayaan dan komunikasi yang baik. Berbagai cara dilakukan, diantaranya mencari orang kunci yang dapat dipandang arif dan dapat menerima perbedaan dan membuka komunikasi.
2.      Menerima dan perbedaan atau pluralism. Tekanan dalam prinsip perbedaan adalah kepahaman bahawa masing – masing pihak berdiri pada posisi masing – masing.
3.      Kejelasan dan peran keterwakilan dalam kerjasama, siapa akan berperan apa dan siapa akan mewakili siapa.
4.      Kesetaran dalam posisi dan struktur kerja social
5.      Kesepatan dalam etika kerjasama, berkaitan dengan kerjasama yang akan dibangun Tokoh Agama dan Pemerintah, etika ini sebaiknya dicantumkan dalam tertulis.
6.      Kejelasan dalam mekanisme tanggung gugat. Prinsip ini ditanamkan untuk memikirkan mekanisme pada tanggung jawab gugat public pada program pengembangan masyarakat.



H.    Analisa Perbandingan Profil
Peran Tokoh Agama dan Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan Umat Beragama dapat dilihat secara nyata dari peran dan tugas yang diemban selama ini. Berikut beberapa perbandingan profil keduanya.
Hal
Tokoh Agama
Pemerintah
Peran
Mendorong terciptanya kerukunan umat beragama, upaya yang dilakukan memberikan pemahaman dan mengajarkan tentang kerukunan umat beragama
Saling menghormati anar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera
Membudayakan tradisi berdialog dan berdialog dengan beberapa tokoh agam yang lain
Mewujudkan keamanan dalam negeri dalam kehidupan nasional tugas dan fungsi ini diemban oleh penegak hokum yaitu POLRI.
Memberikan contoh dalam perwujudan perlakukan setara kepada umat agama yang lain
Sistem politk yang demokratis, pembangunan daerah
Pemimpin agama sebagai motivator

Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan didaya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik
Pemimpin Agama sebagai pembimbing moral

Melayani dan menyediakan kemudahan bagi para penganut agama

Pemimpin sebagai mediator

Melakukan mediasi dengan berbagai kelompok yang dilanda konflik

Dari analisa di atas, tergambar adanya peran – peran sekaligus titik temu pada tataran tujuan yang dicapai Tokoh Agama dan Pemerintah dalam upaya membentuk kerukunan umat beragama. Titik temu antara peran Tokoh Agama dan Pemerintah menginginkan terwujudnya perdamaian, keamanan, ketertiban, kehidupan yang demokratis, toleransi antar umat beragama, saling pengertian, dialog dan kerjasama.
Lalu sinergi bagaimana yang dapat dilakukan?. Pemerintah harus cermat menghadapi masalah yang timbul pada masyarakat dan harus bisa mencari solusi alternatef dengan mencari akar masalah dan mencari sosok (Tokoh Agama) yang dapat dimintai pendapat atau masukan untuk dijadikan bahan perbadingan dalam pengambilan kebijakan.


BAB V
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Dari paparan yang cukup panjang di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.      Tokoh Agama dan Pemrintah, dalam posisinya masing – masing, telah cukup berperan di dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal ini dapat dilihat dari kiprah Tokoh Agam dan Pemerintah yang telah menngarah secara nyata pada upaya pemeriliharaan kerukunan umat beragama
2.      Pola hubungan yang terjadi antara Tokoh Agama dan Pemerintah di dalam uapaya pemeliharaan kerukunan umat beragama secara garis besar ada dua. Pertama, kerjasama berupa dialog keagamaan dan pelibatan pada program. Kedua kerjasama dengan mengevaluasi program sebagai partner untuk melengkapi satu dengan yang lain.
3.      Sinergi antara Tokoh Agama dan Pemerintah pelibatan dalam pengambilan keputusan dalam kerukunan umat beragam

B.            Saran – Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan, sebagai berikut :
1.             Tokoh Agama dan Pemerintah perlu terus meningkatkan perannya dalam upaya pemerliharaan kerukunan umat beragama.
2.             Toko Agama dan Pemerintah untuk terus melakukan operasi mengayowi masyarakat bawah, artinya harus bisa terjun langsung secara bersama – sama, merasakan dan mencari solusi untuk meningkatkan kerukunan umat beragama.


DAFTAR PUSTAKA



Alamsjah,H. 1982. Pembinaan Kerukunan Hldup Umat Beragama Departemen Agama RI. Jakarta: Wilayah kajian Agama di Indonesia Depatemen Agama R I.

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta : Insist Press, 2002

Kementrian Agama RI, Dinama Kehidupan Keagamaan diera Reformasi. Jakarta : Maloha Press 2010

Salim Akmal, Peran dan Hubungan LSM dan Pemerintah, Hal 74

Kementrian Agama RI, Dinamika Kehidupan Keagmaan Di Era Refromasi, Jakarta : Maloho Jaya, 2010.

Pastor Agus Ulahaiayan, Pr.Peran Tokoh Agama dalam Kaus di Maluku.. hal 03

Naim, Sahibi 1985. Kerukunan Antar Umat Beragama. Jakarta: Gunung Agung.

Saputera Agus, Kebijakan Dan Strategi Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia. Hal 05

Tanwirul Afkar, Inisiatif Perdamaian Meredam Konflik Agama dan Budaya, Jakarta : LAKPESDAM NU, 2007

Ratu Atut Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Diva Publiser

Rosidi, Imron. Sukses Menulis Karya Ilmiah, Pasuruan : Pustaka Sidogiri

Afandi, Arief, Islam Demokrasi Atas Bawah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 199