Jumat, 11 Oktober 2013

PEMBERDAYAAN PETANI LOKAL DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH



Oleh : Mohmmad Sukri
Santri Pondok Pesantren Mifahul Ulum Panyepen Palengaan Pamekasan
 
Kehidupan petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk-produk pertanian lainnya masih saja terjadi.
Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior, dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada tahun 1970-an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.
Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003 jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.
Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003 adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian.
Kebijakan Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani, namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan, mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.
Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran.
Daripada disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area “fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini.
Telah banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga rendah, dimana para petani sudah tidak memiliki bargaining position lagi.
Demikian halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya.
Merujuk World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/ perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2) terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan, investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure) dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar wacana dan angan-angan.
Sehingga pada akhirnya diberlakukanlah otonomi daerah, dengan tujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan dan inovasi terhadap daerah yang dipimpinnya. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konsti- tusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya ke-sejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa mela-lui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keis-timewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kerangka otonomi daerah. Pemerintah daerah harus secara visioner mem-bangun daerah sebagai basis pengembangan petani lokal, dengan perluasan dan peningkatan kwalitas pertanian yang ada didaerahnya masing-masing. Pemerintah daerah jelas memainkan peran sebagai fasilitator  dan  akseletator per-tumbuhan serta pemberdayaan petani.
Salah satu upaya pemerintah daerah melalui dinas pertanian pertama, diperlukan penyuluhan pertanian modern berbasis kearifan lokal hingga pelosok desa, sehingga petani tidak harus bergantung dengan pupuk ataupun pestisida buatan pabrik yang dikuasai oleh para pemodal besar dan cenderung sulit dijangkau oleh petani yang berpendapatan kecil. Petani harus diberikan bekal pengetahuan untuk membuat pupuk maupun pestisida alami yang lebih aman dan menguntungkan serta telah tersedia di sekitar mereka.
Langkah ini merupakan langkah yang cukup efektif mengingat, petani Indonesia pendidikannya hanya samai pada jenjang pendidikan sekolah dasar bahkan masih banyak yang tidak tahu membaca atau buta aksara. Keikutsertaan peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan petani menjadi sebuah rangsangan untuk meningkatkan produktifitas pertanian dalam skala daerah sehingga dapat berimbas pada penguatan hasil pertanian dalam skala nasional.
Langkah kedua adalah penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya alam lokal yang bertujuan jelas dan berkesinambungan. Indonesia sangat kaya akan varian sumber pangan, sedikit sentuhan teknologi pengolahan pangan dan penyuluhan yang berkelanjutan akan mampu menggantikan bahan makanan impor seperti gandum, gula, beras dan yang lainnya.
Langkah ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang kewirausahaan, petani wirausaha adalah petani yang berpikir dan bertindak untuk mengembangkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang dikerjakannya selama ini, sehingga hasil pertaniannya dapat lebih menguntungkan. Misalkan dengan mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih baik melalui penerapan teknologi baru yang pada akhirnya petani dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Kalau selama ini petani hanya bisa menanam, merawat dan memanen akan tetapi  petani juga dituntut untuk mengolah hasil pertaniannya menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih. Sehingga jika masa panen tiba hasil panen tidak serta – serta dilempar kepasar dengan harga yang relatif murah. Petani yang mampu menginovasi hasil panennya maka ia mampu secara lambat laun meningkatkan taraf kehidupannya. Hasil inovasi atau pengolahan pertanian juga harus bisa diimbangi dengan manajemen pemasaran dan distribusi yang baik serta kemampuan kerjasama sama dengan berbagai yang mampu meningkatkan nilai produktifitas barang yang diproduksi.
Langkah selanjutnya adalah membangun iklim usaha tani yang  produktif. Pemerintah daerah dituntut membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur produksi maupun distribusi, menjamin ketersediaan sarana produksi, mempermudah akses kredit usaha untuk petani kecil, serta memperkenalkan berbagai inovasi teknologi pertanian.
Langkah terakhir yaitu pemerintah harus menjamin harga jual yang menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani. Harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap semangat petani dalam meningkatkan produksinya. Apabila semua langkah diatas dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan tercipta fondasi pangan yang kuat dan konsisten


.
Akhirnya sudah saatnya pemerintah daerah lebih banyak memfokuskan kinerjanya unutk sektor pertanian di daerah atau sektor pertanian desa, karena sektor pertanian desa menjadi salah satu penunjang untuk penyediaan penyediaan ketahanan pangan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi inpirasi bagi pembaca sekalian, Amiin.

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH



Oleh :
Mohammad Sukri

Pada saat ini rasa bangga dan kepedulian melestarikan budaya kurang tertanam di generasi muda Indonesia. Minat mereka untuk mempelajarinya sudah sangat kurang. Padahal seharusnya generasi muda tersebut dapat berpartisipasi aktif dalam melestarikan kebudayaan Indonesia agar kebudayaan tersebut akan tetap ada sampai kapan pun. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya informasi mengenai kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Generasi muda zaman sekarang ini lebih tertarik untuk mengenal dan mempelajari budaya-budaya asing yang kini telah masuk ke Indonesia. Maraknya aksi-aksi moral yang tidak baik memang sudah sangat memprihatinkan, apalagi di tambah dengan kurangnya nilai-nilai budaya lokal yang semakin memperburuk keadaan. Meskipun demikian generasi muda Indonesia tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Masuknya budaya asing ke Indonesia memang membawa dampak yang cukup besar terhadap generasi muda saat ini.
Dari semua budaya asing yang masuk, tidak semuanya membawa pengaruh positif bagi generasi muda maka dari itu para generasi muda harus dapat memilah-milah sendiri mana yang harus ditinggalkan dan mana yang dapat diterima ke dalam nilai-nilai moral budaya lokal untuk di kembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam menanggapi hal tersebut generasi  muda harus berusaha agar jati diri mereka sebagai generasi muda penerus bangsa tidak rusak.
Banyaknya tindak kejahatan sekarang ini akibat dari generasi muda yang tidak bisa membedakan baik buruknya budaya asing yang masuk. Tindak kriminal, narkoba, perkosaan, pergaulan bebas dapat terjadi karena generasi muda meniru kebudayaan asing yang menurut mereka tidak aneh lagi untuk diikuti. Oleh sebab itu seharusnya para generasi muda tidak bisa begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak hancur dan generasi muda dapat membangun Indonesia menjadi negara maju tanpa terpengaruh oleh budaya asing.
Pengaruh globalisasi juga sangat besar terhadap generasi muda. Pengaruh tersebut menyebabkan banyak anak muda yang kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang telah muncul dalam kehidupan sehari-hari contohnya, dari cara berpakaian remaja-remaja saat ini yang cenderung mengikuti budaya asing. Mereka memakai pakaian yang minim sehingga memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan. Padahal untuk melestarikan budaya bangsa seharusnya mereka memakai pakaian yang sopan sesuai dengan norma-norma budaya yang berlaku.
Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia sangat diharapkan mampu memilah-milah dan mengantisipasi terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia karena budaya tersebut ada yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita dan akan berdampak sangat buruk terhadap budaya Indonesia. 
Pendidikan dalam konteks otonomi daerah adalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dan mengembangkan potensi lokal dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Munculnya otonomi pendidikan ini menjadi angin segar kapada stake holder pemerindah daerah dan para pelaku pendidikan untuk lebih memacu pendidikan dan pengembangan pendidikan lokal yang disesuaikan dengan adat dan budaya yang ada didaerahnya masing-masing tanpa mengurangi nilai pendidikan dengan muatan pengetahuan yang berskala nasional dan internasional.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tujuan pengembangan pendidikan yang berbasis budaya lokal  terpatahkan dengan beberapa fakta dan kenyataan dilapangan. Saat ini institusi pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan islam mulai melupakan diri terhadap adat dan budaya yang harus dipegang teguh oleh bersama. Banyak masyarakat yang masih belum paham terhadap adat dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang . Padahal adat dan budaya tersebut menjadi ciri kekhasan yang membadakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, namun tetap dalam bingkai bhenika tunggal ika.
Peserta didik asing didaerahnya  sendiri, bahkan yang lebih parah lagi mereka mulai melupakan bahasa asli daerah sendiri, seperti halnya bahasa Madura. Bahasa Madura sudah menjadi barang asing ditelinga peserta didik, mereka menganggap bahasa Madura kurang penting, dianggap norak, kampungan, kurang gaul, gak level dan masih banyak yang lainnya. Anggapan tersebut menjadi pemicu kurang minatnya peserta didik untuk belajar bahasa Madura, ditambah lagi bahasa Madura atau pelajaran budaya Madura hanya menjadi pelengkap dari satuan kurikulum di institusi pendidikan dan porsi jamnya hanya satu kali tatap muka dalam satu minggu.
Kenyataaan diatas kemudian senada dengan pendapat dari Amir Mahmud, seorang peneliti balai Pengembangan Budaya dan Bahasa Surabaya yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap kurang diminatinya bahasa Madura oleh peserta didik adalah pertama, tidak ada jurusan Bahasa Madura di perguruan tinggi di Madura. Faktor kedua, gengsi. Anak muda sekarang itu merasa lebih bergengsi berbahasa bahasa bangsa orang lain daripada berbahasa daerahnya sendiri.
Berangkat darai berbagai permasalaha diatas, perlu adanya penyelematan budaya yang selama ini sudah ditingggalkan oleh pelajar dan masyarakat. Penyelematan budaya ini akan bisa terlaksanana dengan baik jika dimulai pada institusi pendidikan, karena institusi pendidikan tempat belajar generasi muda yang masih fresh menerima materi, praktek tentang budaya dan pengembangan kreatifitas budaya asli daerah. Pengembangan pendidikan tidak hanya berkutak pada institusi pendidikan formal saja tetapi lebih masuk pada ranah pendidikan non formal seperti kursus,,sanggar budaya dan lembaga pengembangan budaya lainnya.
Oleh karena itu peran pemerintah daerah dalam hal ini walikota, bupati dan pelaku kebijakan pendidikan harus bisa memutar otak untuk lebih serius dalam penyelamatran budaya asli daerah adapun usaha yang dapat dilakukan adalah pertama, otoritas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam konteks Otonomi Daerah di bidang pendidikan secara formal mengharuskan pembangunan infrastruktur pendidikan atau mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan for-mal, pendidikan non-formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat dengan pembangunan infrastruktur pendidikan berbasis budaya lokal misalnya pembangunan laboratorium budaya atau mesium budaya serta sentra budaya yang dapat dikunjungi dan dipelajari oleh masyarakat seperti sanggar tari tradisional dan sanggar music daerah.
Kedua, perlu adanya penambahan jam mata pelajaran dan mamasukkan mata pelajaran budaya pada kurikulum pendidikan fomal dan non formal. Sebagai legitimasi dan kebijakan langsung dari pemerintah daerah dan stake holder pendidikan.
Ketiga, membuat kebijakan dengan mengharuskan calon peserta didik yang berdomisili di daerah tersebut mengusai bahasa daerah, dan dijadikan sebagai bahan tes masuk sekolah pada tiap jenjang pendidikan. Keempat, megadakan festifal budaya daerah dalam rangka memberikan pendidikan dan pengetahuan secara tidak langsung pada masyarakat dan generasi muda.
Akhirnya, gerakan cinta budaya menjadi salah satu upaya untuk menghidupkan kembali adat istiadat, budaya dan bahasa daerah yang mulai redup ditutupi kecanggihan teknologi dan modernitas. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, sanak famili dan masyarakat secara luas. Belajarlah budaya kita sendiri baru kita pelajari budaya orang lain.
Gerakan cinta dan memperlajari budaya asli pada akhirnya dapat berpengaruh pada pengembalian karakter atau adat budaya yang telah lama diajarkan oleh nenek moyang kita, seperti nilai kesopanan gotong royong dan silaturrahmi yang selama ini telah hilang dimasyarakat. Pengembalian nilai – nilai budaya atau karakter masyarakat ini dapat dikembalikan dengan mempelajari budaya dan mengetahui bahasa asli daerah sendiri.
Wallhu a’lam bissowab.