Oleh : Mohmmad Sukri
Santri Pondok Pesantren Mifahul Ulum Panyepen Palengaan Pamekasan
Kehidupan
petani jauh dari kesan tentram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmadja petani
hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan.
Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris dan atau negara
maritim, ternyata setelah sekian lama membangun, masih belum meraih kemakmuran
dari kedua bidang tersebut. Impor beras dan produk-produk pertanian lainnya
masih saja terjadi.
Kesan
kuat yang muncul sekarang ini adalah bahwa petani merupakan profesi inferior,
dan sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan tersebut tidak
sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Padahal pada
tahun 1970-an antara kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja
industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak
pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.
Serapan
tenaga kerja pertanian memang bertambah, namun kalau sektor pertanian lebih
banyak dijejali dengan petani gurem maka sektor pertanian akan menjadi
penyumbang kemiskinan yang signifikan. Dalam periode 10 tahun antara 1993-2003
jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta
orang. Oleh karenanya kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.
Pada
tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separonya adalah
petani yang tinggal di pedesaan. Jumlah rumahtangga pertanian pada tahun 2003
adalah 24,3 juta, sekitar 82,7% di antaranya termasuk kategori miskin. Demikian
juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut
provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004)
menunjukkan prosentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi
adalah bekerja di sektor pertanian.
Kebijakan
Deptan untuk menetapkan harga dasar gabah adalah untuk mensejahterakan petani,
namun di tempat lain Deperindag membuka kran impor beras sehingga petani tak
bisa menikmati harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara Bulog
belum berperan sebagaimana yang diharapkan sebagai penyangga harga gabah dan
mengamankan harga beras. Selain itu nasib petani semakin tidak menentu karena
bencana alam seperti banjir atau kekeringan yang menyebabkan hancurnya
persawahan Tampaknya nasib petani Indonesia belum secerah yang diharapkan,
mereka harus rela hidup prihatin entah sampai kapan.
Besarnya
angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan kemampuan
pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai
petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran.
Daripada
disebut nganggur, ya mendingan bekerja di pertanian, walau dengan ala kadarnya
dan dengan curahan waktu dan kapasitas yang sangat minimal. Hal tersebut turut menjelaskan laporan dalam World
Development Report 2003, dimana penduduk desa yang tinggal di area
“fragile” (dan umumnya bermata pencaharian petani), meningkat dua kali lipat
dalam 50 tahun ini.
Telah
banyak dilakukan penelitian dan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi
keterpurukan petani. Salah satu diantaranya adalah kesulitan pembiayaan
usahatani dan kebutuhan dana cash untuk keperluan hidup selama masa
menunggu penjualan hasil panen, menyebabkan banyak petani terjebak sistem ijon
dan atau hutang kepada para tengkulak yang mematok harga pertanian dengan harga
rendah, dimana para petani sudah tidak memiliki bargaining position
lagi.
Demikian
halnya dengan rendahnya produktivitas petani kecil sebagai konsekuensi beragam
masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan
produksi, tidak memadainya sarana produksi dan prasarana yang dibutuhkan usaha
tani yang efisien, dan berbagai masalah lainnya.
Merujuk
World Development Report 2003, penduduk desa miskin yang umumnya petani
berhadapan dengan beberapa tantangan yang mempengaruhi potensi pembangunan/
perkembangannya yaitu : 1) terbatas bahkan rusaknya sumberdaya alam, 2)
terbatasnya kebijakan dalam pengembangan teknologi produksi dan proses “secondary
crops”, 3) jeleknya infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi) dan tidak
memadainya perhatian dari institusi pembangunan (pendidikan, kesehatan,
investasi), 4) marjinalnya Social budaya (kekuasaan, suara, hak tanah, tenure)
dan terbatasnya kesempatan ekonomi lokal (pertanian, off-farm, kesempatran
kerja di kota). Demikian banyak permasalahan yang dihadapi petani kecil dan
miskin, menyebabkan kedaulatan petani semakin jauh dan sepertinya masih sekedar
wacana dan angan-angan.
Sehingga
pada akhirnya diberlakukanlah otonomi daerah, dengan tujuan untuk memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan dan inovasi terhadap
daerah yang dipimpinnya. Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945
secara konsti- tusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
ke-sejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat.
Sebagaimana
digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
ditegaskan bahwa mela-lui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan,
keis-timewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
kerangka otonomi daerah. Pemerintah daerah harus secara visioner mem-bangun
daerah sebagai basis pengembangan petani lokal, dengan perluasan dan
peningkatan kwalitas pertanian yang ada didaerahnya masing-masing. Pemerintah
daerah jelas memainkan peran sebagai fasilitator dan
akseletator per-tumbuhan serta pemberdayaan petani.
Salah
satu upaya pemerintah daerah melalui dinas pertanian pertama, diperlukan
penyuluhan pertanian modern berbasis kearifan lokal hingga pelosok desa,
sehingga petani tidak harus bergantung dengan pupuk ataupun pestisida buatan
pabrik yang dikuasai oleh para pemodal besar dan cenderung sulit dijangkau oleh
petani yang berpendapatan kecil. Petani harus diberikan bekal pengetahuan untuk
membuat pupuk maupun pestisida alami yang lebih aman dan menguntungkan serta
telah tersedia di sekitar mereka.
Langkah
ini merupakan langkah yang cukup efektif mengingat, petani Indonesia
pendidikannya hanya samai pada jenjang pendidikan sekolah dasar bahkan masih
banyak yang tidak tahu membaca atau buta aksara. Keikutsertaan peran pemerintah
daerah dalam pemberdayaan petani menjadi sebuah rangsangan untuk meningkatkan
produktifitas pertanian dalam skala daerah sehingga dapat berimbas pada penguatan
hasil pertanian dalam skala nasional.
Langkah
kedua adalah penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya alam lokal
yang bertujuan jelas dan berkesinambungan. Indonesia sangat kaya akan varian
sumber pangan, sedikit sentuhan teknologi pengolahan pangan dan penyuluhan yang
berkelanjutan akan mampu menggantikan bahan makanan impor seperti gandum, gula,
beras dan yang lainnya.
Langkah ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang
kewirausahaan, petani wirausaha adalah petani yang berpikir dan
bertindak untuk mengembangkan hal-hal yang lebih baik dari apa yang dikerjakannya
selama ini, sehingga hasil pertaniannya dapat lebih menguntungkan. Misalkan
dengan mengembangkan teknik-teknik produksi yang lebih baik melalui penerapan
teknologi baru yang pada akhirnya petani dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Kalau selama ini petani hanya bisa menanam,
merawat dan memanen akan tetapi petani juga
dituntut untuk mengolah hasil pertaniannya menjadi sesuatu yang memiliki nilai
lebih. Sehingga jika masa panen tiba hasil panen tidak serta – serta dilempar
kepasar dengan harga yang relatif murah. Petani yang mampu menginovasi hasil
panennya maka ia mampu secara lambat laun meningkatkan taraf kehidupannya. Hasil
inovasi atau pengolahan pertanian juga harus bisa diimbangi dengan manajemen
pemasaran dan distribusi yang baik serta kemampuan kerjasama sama dengan berbagai
yang mampu meningkatkan nilai produktifitas barang yang diproduksi.
Langkah
selanjutnya adalah membangun iklim usaha tani yang produktif. Pemerintah daerah
dituntut membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur produksi
maupun distribusi, menjamin ketersediaan sarana produksi, mempermudah akses
kredit usaha untuk petani kecil, serta memperkenalkan berbagai inovasi
teknologi pertanian.
Langkah
terakhir yaitu pemerintah harus menjamin harga jual yang menguntungkan bagi
produk yang dihasilkan petani. Harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat
signifikan terhadap semangat petani dalam meningkatkan produksinya. Apabila
semua langkah diatas dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan
tercipta fondasi pangan yang kuat dan konsisten
.
Akhirnya
sudah saatnya pemerintah daerah lebih banyak memfokuskan kinerjanya unutk
sektor pertanian di daerah atau sektor pertanian desa, karena sektor pertanian
desa menjadi salah satu penunjang untuk penyediaan penyediaan ketahanan pangan.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi inpirasi bagi pembaca sekalian,
Amiin.